Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi,
almanhaj.or.id
Shalat wajib ada lima: Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib, ‘Isya', dan Shubuh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada malam Isra'
(ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dinaikkan ke langit)
diwajibkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat lima puluh
waktu. Lalu dikurangi hingga menjadi lima waktu. Kemudian beliau diseru,
'Hai Muhammad, sesungguhnya keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah.
Dan sesungguhnya bagimu (pahala) lima ini seperti (pahala) lima
puluh'.”[1]
Dari Thalhah bin 'Ubaidillah Radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa
pernah seorang Arab Badui berambut acak-acakan mendatangi Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata, "Wahai Rasulullah,
beritahukanlah kepadaku shalat apa yang diwajibkan Allah atasku." Beliau
menjawab:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئًا.
"Shalat lima waktu, kecuali jika engkau ingin menambah sesuatu (dari shalat sunnah)." [2]
Kedudukan Shalat Dalam Islam
Dari 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْـلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun atas lima (perkara): kesaksian bahwa tidak ada ilah yang
berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, haji ke baitullah, dan puasa
Ramadhan." [3]
A. Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Seluruh ummat Islam sepakat bahwa orang yang mengingkari wajibnya
shalat, maka dia kafir dan keluar dari Islam. Tetapi mereka berselisih
tentang orang yang meninggalkan shalat dengan tetap meyakini kewajiban
hukumnya. Sebab perselisihan mereka adalah adanya sejumlah hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam yang menamakan orang yang meninggalkan
shalat sebagai orang kafir, tanpa membedakan antara orang yang
mengingkari dan yang bermalas-malasan mengerjakannya.
Dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.
“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” [4]
Dari Buraidah, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَتُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ.
‘Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya, maka ia telah kafir.’” [5]
Namun yang rajih dari pendapat-pendapat para ulama', bahwa yang dimaksud
dengan kufur di sini adalah kufur kecil yang tidak mengeluarkan dari
agama. Ini adalah hasil kompromi antara hadits-hadits tersebut dengan
beberapa hadits lain, di antaranya:
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَـادِ، مَنْ أَتَى بِهِنَّ
لَمْ يُضِيْعَ مِنْهُنَّ شَيْئًا اِسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَـانَ لَهُ
عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ
بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ
شَاءَ غَفَرَ لَهُ.
‘Lima shalat diwajibkan Allah atas para hamba. Barangsiapa
mengerjakannya dan tidak menyia-nyiakannya sedikit pun karena menganggap
enteng, maka dia memiliki perjanjian de-ngan Allah untuk memasukkannya
ke Surga. Dan barangsiapa tidak mengerjakannya, maka dia tidak memiliki
perjanjian dengan Allah. Jika Dia berkehendak, maka Dia mengadzabnya.
Atau jika Dia berkehendak, maka Dia mengampuninya.’”[6]
Kita menyimpulkan bahwa hukum meninggalkan shalat masih di bawah derajat
kekufuran dan kesyirikan. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyerahkan perkara orang yang tidak mengerjakannya kepada
kehendak Allah.
Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ
ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ
إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia
telah berbuat dosa yang besar.” [An-Nisaa’: 48]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya yang
pertama kali dihisab dari seorang hamba yang muslim pada hari Kiamat
adalah shalat wajib. Jika dia mengerjakannya dengan sempurna (maka ia
selamat). Jika tidak, maka dikatakan: Lihatlah, apakah dia memiliki
shalat sunnah? Jika dia memiliki shalat sunnah maka shalat wajibnya
disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Kemudian seluruh amalan wajibnya
dihisab seperti halnya shalat tadi.’” [7]
Dari Hudzaifah bin al-Yaman, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Islam akan lenyap sebagaimana lenyapnya
warna pada baju yang luntur. Hingga tidak lagi diketahui apa itu puasa,
shalat, qurban, dan shadaqah. Kitabullah akan diangkat dalam satu malam,
hingga tidak tersisalah satu ayat pun di bumi. Tinggallah segolongan
manusia yang terdiri dari orang tua dan renta. Mereka berkata, 'Kami
dapati bapak-bapak kami mengucapkan kalimat: Laa ilaaha illallaah dan
kami pun mengucapkannya.’” Shilah berkata kepadanya, “Bukankah kalimat
laa ilaaha illallaah tidak bermanfaat untuk mereka, jika mereka tidak
tahu apa itu shalat, puasa, qurban, dan shadaqah?”
Lalu Hudzaifah berpaling darinya. Shilah mengulangi pertanyaannya tiga
kali. Setiap kali itu pula Hudzaifah berpaling darinya. Pada kali yang
ketiga, Hudzaifah menoleh dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itulah
yang akan menyelamatkan mereka dari Neraka. Dia mengulanginya tiga
kali.” [8]
B. Kepada Siapa Diwajibkan?
Shalat itu diwajibkan kepada setiap muslim yang telah baligh dan berakal
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ،
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى
يَعْقِلَ.
“Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga orang: dari orang yang tidur
hingga terbangun, dari anak-anak hingga baligh, dan dari orang gila
hingga kembali sadar.” [9]
Wajib atas orang tua untuk menyuruh anaknya mengerjakan shalat meskipun
shalat tadi belum diwajibkan atasnya, agar ia terbiasa untuk mengerjakan
shalat.
Dari 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَـاءُ سَبْعَ سِنِيْنَ،
وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرَ سِنِيْنَ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun. Dan
pukullah mereka karena meninggalkannya pada usia sepuluh tahun. Serta
pisahkanlah ranjang mereka.” [10]
[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz,
Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia
Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta,
Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September
2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq 'alaihi: [Sunan at-Tirmidzi (I/137 no. 213)], secara
ringkas. Dan diriwayatkan secara panjang dalam Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (VII/201 no. 3887), Shahiih Muslim (I/145 no. 259),
serta Sunan an-Nasa-i (I/217).
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/106 no.
46)], Shahiih Muslim (I/40 no. 11), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(II/53 no. 387), dan Sunan an-Nasa-i (IV/121).
[3]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih Muslim (I/45 no. 16 (20))], ini adalah
lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/49 no. 8), Sunan
at-Tirmidzi (IV/119 no. 2736), Sunan an-Nasa-i (VIII/107).
[4]. Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 2848)], Shahiih Muslim
(I/88 no. 82), ini adalah lafazhnya, Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud)
(XII/436 no. 4653), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125 no. 2751), dan Sunan
Ibni Majah (I/342 no. 1078).
[5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 884)], Sunan Ibni Majah
(I/342 no. 1079), Sunan an-Nasa-i (I/231), dan Sunan at-Tirmidzi (IV/125
no. 2756).
[6]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1150)], Muwaththa’ al-Imam
Malik (hal. 90 no. 266), Ahmad (II/234 no. 82), Sunan Abi Dawud (‘Aunul
Ma’buud) (II/ 93 no. 421), Sunan Ibni Majah (I/449 no. 1401), dan Sunan
an-Nasa-i (I/230).
[7]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1172)], Sunan Ibni Majah
(I/458 no. 1425), ini adalah lafazhnya, Sunan at-Tirmidzi (I/258 no.
411), dan Sunan an-Nasa-i (I/232).
[8]. Shahiih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 3273)], dan Sunan Ibni Majah (II/1344 no. 4049).
[9]. Shahiih: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 3513), dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (XII/78 no. 4380).
[10]. Hasan: [Shahiih al-Jaami’ush Shaghiir (no. 5868)], Sunan Abi Dawud
(‘Aunul Ma’buud) (II/162 no. 491), ini adalah lafazhnya, Ahmad
(al-Fat-hur Rabbaani) (II/237 no. 84), dan Mustadrak al-Hakim (I/197).