By Ust Salim afillah
aku percaya
maka aku akan melihat keajaiban
iman adalah mata yang terbuka
mendahului datangnya cahaya
“Aku”.
Jawaban Musa itu terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang
di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling ‘alim di muka bumi, Musa
menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23
ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam
senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau
akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang
keenampuluh sembilan.
Di mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir
mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan
pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata,
“Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”
Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang
yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama
pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak
sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira
duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad
Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai
Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”
Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, ‘Alaihis
Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah
orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang
sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun
dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang
yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah
justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras kepala.
Hari itu, setelah ucapannya yang jumawa, Musa menerima perintah untuk berjalan
mencari titik pertemuan dua lautan. Musa berangkat dikawani Yusya ibn Nun yang
kelak menggantikannya memimpin trah Ya’qub. Suatu waktu, Yusya melihat lauk
ikan yang mereka kemas dalam bekal meloncat mencari jalan kembali ke lautan.
Awalnya, Yusya lupa memberitahu Musa. Mereka baru kembali ke tempat itu setelah
Musa menanyakan bekal akibat deraan letih dan lapar yang menggeliang dalam
usus.
Di sanalah mereka bertemu dengan seseorang yang Allah sebut sebagai, “Hamba di
antara hamba-hamba Kami yang kamu anugerahi rahmat dari arsa Kami, dan Kami
ajarkan padanya ilmu dari sisi Kami.” Padanyalah Musa berguru. Memohon diajar
sebagian dari apa yang telah Allah fahamkan kepada Sang Guru. Nama Sang Guru
tak pernah tersebut dalam Al Quran. Dari hadits dan tafsir lah kita berkenalan
dengan Khidzir.
Kita telah akrab dengan kisah ini. Ada kontrak belajar di antara keduanya.
“Engkau akan mendapatiku sebagai seorang yang sabar. Dan aku takkan
mendurhakaimu dalam perkara apapun!”, janji Musa. “Jangan kau bertanya sebelum
dijelaskan kepadamu”, pesan Khidzir. Dan dalam perjalanan menyejarah itu, Musa
tak mampu menahan derasnya tanya dan keberatan atas tiga perilaku Khidzir.
Perusakan perahu, pembunuhan seorang pemuda, dan penolakan atas permohonan
jamuan yang berakhir dengan kerja berat menegakkan dinding yang nyaris rubuh.
Tanpa minta imbalan
Alhamdulillah, kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam
hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap
memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja
zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang ‘sempurna’
terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita
rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa
tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan
semuanya.”
Kita juga belajar bahwa ‘membunuh’ bibit kerusakan ketika dia baru berkecambah
adalah pilihan bijaksana. Dalam beberapa hal seringkali ada manfaat diraih
sekaligus kerusakan yang meniscaya. Padanya, sebuah tindakan didahulukan untuk
mencegah bahaya. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Dar’ul mafaasid muqaddamun
‘alaa jalbil mashaalih.. Mencegah kerusakan didahulukan atas meraih
kemashlahatan.”
Dan dari Khidzir kita belajar untuk ikhlas. Untuk tak selalu menghubungkan
kebaikan yang kita lakukan, dengan hajat-hajat diri yang sifatnya sesaat. Untuk
selalu mengingat urusan kita dengan Allah, dan biarkanlah tiap diri
bertanggungjawab padaNya. Selalu kita ingat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Sultan yang dimakan fitnah memenjarakan dan menyiksanya. Tapi ketika
bayang-bayang kehancuran menderak dari Timur, justru Ibnu Taimiyah yang
dipanggil Sultan untuk maju memimpin ke garis depan. Berdarah-darah ia hadapi
air bah serbuan Tartar yang bagai awan gelap mendahului fajar hendak menyapu
Damaskus.
Ketika musuh terhalau, penjara kota dan siksa menantinya kembali. Saat ditanya
mengapa rela, ia berkata, “Adapun urusanku adalah berjihad untuk kehormatan
agama Allah serta kaum muslimin. Dan kezhaliman Sultan adalah urusannya dengan
Allah.”
Iman dan Keajaiban yang Mengejutkan
Subhanallah, alangkah lebih banyak lagi ‘ibrah yang bisa digali dari
kisah Musa dan Khidzir. Berlapis-lapis. Ratusan. Lebih. Tapi mari sejenak
berhenti di sini. Mari picingkan mata hati ke arah kisah. Mari seksamai cerita
ini dari langkah tertatih kita di jalan cinta para pejuang. Mari bertanya pada
jiwa, di jalan cinta para pejuang siapakah yang lebih dekat ke hati untuk
diteladani?
Musa. Bukan gurunya.
Ya. Karena di akhir kisah Sang Guru mengaku, “Wa maa fa’altuhuu min amrii.. Apa
yang aku lakukan bukanlah perkaraku, bukanlah keinginanku.” Khidzir ‘hanyalah’
guru yang dihadirkan Allah untuk Musa di penggal kecil kehidupannya. Kepada
Khidzir, Allah berikan semua pemahaman secara utuh dan lengkap tentang jalinan
pelajaran yang harus ia uraikan pada Rasul agung pilihanNya, Musa ‘Alaihis Salaam.
Begitu lengkapnya petunjuk operasional dalam tiap tindakan Khidzir itu
menjadikannya sekedar sebagai ‘operator lapangan’ yang mirip malaikat. Segala
yang ia lakukan bukanlah perkaranya. Bukan keinginannya.
Beberapa orang yang menyebut diri Sufi mengklaim, inilah Khidzir yang lebih
utama daripada Musa. Khidzir menguasai ilmu hakikat sedang Musa baru sampai di
taraf syari’at. Maka seorang yang telah disingkapkan baginya hakikat, seperti
Khidzir, terbebas dari aturan-aturan syari’at. Apa yang terlintas di hati
menjadi sumber hukum yang dengannya mereka menghalalkan dan mengharamkan. Ia
boleh merusak milik orang. Ia boleh membunuh. Ia melakukan hal-hal yang dalam
tafsir orang awwam menyimpang, dan dalam pandangan syari’at merupakan sebuah
pelanggaran berat.
Imam Al Qurthubi sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul
Barii, membantah tofsar-tafsir ini. Pertama, tidak ada tindakan Khidzir yang
menyalahi syari’at. Telah kita baca awal-awal bahwa semua tindakannya pun kelak
bersesuaian dengan kaidah fiqh. Bahkan dalam soal membunuh pun, Khidzir tidak
melanggar syari’at karena ia diberi ilmu oleh Allah untuk mencegah kemunkaran
dengan tangannya. Alangkah jauh tugas mulia Khidzir dengan apa yang dilakukan
para Sufi nyleneh semisal meminum khamr, lalu pengikutnya berkata, “Begitu
masuk mulut, khamr-nya berubah menjadi air!”
Tidak sama!
Kedua, setinggi-tinggi derajat Khidzir menurut jumhur ‘ulama adalah Nabi di
antara Nabi-nabi Bani Israil. Sementara Musa adalah Naqib-nya para Naqib, Nabi
terbesar yang ditunjuk memimpin Bani Israil, seorang Rasul yang berbicara
langsung dengan Allah, mengemban risalah Taurat, dan bahkan masuk dalam jajaran
istimewa Rasul Ulul ‘Azmi bersama Nuh, Ibrahim, ‘Isa, dan Muhammad.
Maka Musa jauh lebih utama daripada Khidzir
“Hai Musa, sesungguhnya Aku telah melebihkan engkau dari antara manusia, untuk
membawa risalahKu dan untuk berbicara secara langsung denganKu.” (Al A’raaf
144)
Ketiga, Allah memerintahkan kita meneladani para Rasul yang kisah mereka dalam
Al Quran ditujukan untuk menguatkan jiwa kita dalam meniti jalan cinta para
pejuang. Para Rasul itu, utamanya Rasul-rasul Ulul ‘Azmi menjadi mungkin kita
teladani karena mereka memiliki sifat-sifat manusiawi. Mereka tak seperti
malaikat. Juga bukan manusia setengah dewa. Mereka bertindak melakukan
tugas-tugas yang luar biasa beratnya dalam keterbatasannya sebagai seorang
manusia.
Justru keagungan para Rasul itu terletak pada kemampuan mereka menyikapi
perintah yang belum tersingkap hikmahnya dengan iman. Dengan iman. Dengan iman.
Berbeda dengan Khidzir yang diberitahu skenario dari awal hingga akhir atas apa
yang harus dia lakukan –ketika mengajar Musa-, para Rasul seringkali tak tahu
apa yang akan mereka hadapi atau terima sesudah perintah dijalani. Mereka tak
pernah tahu apa yang menanti di hadapan.
Yang mereka tahu hanyalah, bahwa Allah bersama mereka
Nuh yang bersipayah membuat kapal di puncak bukit tentu saja harus menahan
geram ketika dia ditertawai, diganggu, dan dirusuh oleh kaumnya. Tetapi,
sesudah hampir 500 tahun mengemban risalah dengan pengikut yang nyaris tak
bertambah, Nuh berkata dengan bijak, dengan cinta, “Kelak kami akan menertawai
kalian sebagaimana kalian kini menertawai kami.”
Ya. Nuh belum tahu bahwa kemudian banjir akan tumpah. Tercurah dari celah langit,
terpancar dari rekah bumi. Air meluap dari tungkunya orang membuat roti dan
mengepung setinggi gunung. Nuh belum tahu. Yang ia tahu adalah ia diperintahkan
membina kapalnya. Yang ia tahu adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya,
maka Allah bersamanya. Dan alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Ibrahim yang bermimpi, dia juga tak pernah tahu apa yang akan terjadi saat ia
benar-benar menyembelih putera tercinta. Anak itu, yang lama dirindukannya,
yang dia nanti dengan harap dan mata gerimis di tiap doa, tiba-tiba dititahkan
untuk dipisahkan dari dirinya. Dulu ketika lahir dia dipisah dengan ditinggal
di lembah Bakkah yang tak bertanaman, tak berhewan, tak bertuan. Kini Isma’il
harus dibunuh. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh tangannya sendiri.
Dibaringkanlah sang putera yang pasrah dalam taqwa. Dan ayah mana yang sanggup
membuka mata ketika harus mengayau leher sang putera dengan pisau? Ayah mana
yang sanggup mengalirkan darah di bawah kepala yang biasa dibelainya sambil
tetap menatap wajah? Tidak. Ibrahim terpejam. Dan ia melakukannya! Ia
melakukannya meski belum tahu bahwa seekor domba besar akan menggantikan sang
korban. Yang diketahuinya saat itu bahwa dia diperintah Tuhannya. Yang ia tahu
adalah ketika dia laksanakan perintah Rabbnya, maka Allah bersamanya. Dan
alangkah cukup itu baginya. ‘Alaihis Salaam..
Musa juga menemui jalan buntu, terantuk Laut Merah dalam kejaran Fir’aun. Bani
Israil yang dipimpinnya sudah riuh tercekam panik. “Kita pasti tersusul! Kita
pasti tersusul!”, kata mereka. “Tidak!”, seru Musa. “Sekali-kali tidak akan
tersusul! Sesungguhnya Rabbku bersamaku, dan Dia akan memberi petunjuk
kepadaku.” Petunjuk itupun datang. Musa diperintahkan memukulkan tongkatnya ke
laut. Nalar tanpa iman berkata, “Apa gunanya? Lebih baik dipukulkan ke kepala
Fir’aun!” Ya, bahkan Musa pun belum tahu bahwa lautan akan terbelah kemudian.
Yang dia tahu Allah bersamanya. Dan itu cukup baginya. ‘Alaihis Salaam..
Merekalah para guru sejati. Yang kisahnya membuat punggung kita tegak, dada
kita lapang, dan hati berseri-seri. Yang keteguhannya memancar menerangi. Yang
keagungannya lahir dari iman yang kukuh, bergerun mengatasi gejolak hati dan
nafsu diri. Di jalan cinta para pejuang, iman melahirkan keajaiban. Lalu
keajaiban menguatkan iman. Semua itu terasa lebih indah karena terjadi dalam
kejutan-kejutan. Yang kita tahu hanyalah, “Allah bersamaku, Dia akan memberi
petunjuk kepadaku.”
Nuh belum tahu bahwa banjir nantinya tumpah
ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai
Ibrahim belum tahu bahwa akan tercawis domba
ketika pisau nyaris memapas buah hatinya
Musa belum tahu bahwa lautan kan terbelah
saat ia diperintah memukulkan tongkat
di Badar Muhammad berdoa, bahunya terguncang isak
“Andai pasukan ini kalah, Kau takkan lagi disembah!”
dan kitapun belajar, alangkah agungnya iman
*http://salimafillah.com/yang-aku-tahu-allah-bersamaku/