November 26, 2009

Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-2)

Baitul Muslim, Mar'ah Muslimah
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo


Muslimah (photobucket.com)dakwatuna.com – Dalam manajemen emosi wanita untuk memperlakukan gelas-gelas kristal ini secara hati-hati dan lembut – agar tetap terawat dalam keindahannya dan dapat menikmati kebersamaan dengannya dengan kondisi tetap utuh bening berkilau – maka Islam menganjurkan suami berlemah lembut kepada istri (An-Nisa:19). Menurut Syeikh Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, ayat ini berarti, “wajib bagi kalian kaum mukmin untuk mempergauli istri-istri kalian dengan baik, yaitu menemani hidup dan mempergauli mereka dengan ma’ruf yang lazim dan berkenan di hati mereka serta tidak melanggar aturan syariat, tradisi dan kesopanan. Karena itu, mempersempit jatah nafkah, menyakiti fisik dan perasaan pasangan dengan perbuatan dan perkataan, sikap dingin dan masam, semua itu tidak termasuk pergaulan yang ma’ruf.”

Dalam konteks perlakuan baik terhadap istri dan keluarga, Rasulullah saw pernah memantang para suami dengan sabdanya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku adalah sebaik-baik orang terhadap istriku (keluargaku).” (HR. Ibnu Majah).

Pada dasarnya, rumah tangga itu ditegakkan atas dasar mawaddah (kasih asmara), yakni hubb (cinta kasih). Cinta yang tulus akan memotivasi sikap kooperatif, kompromistis, dan apresiatif yang saling mementingkan pasangannya, sehingga masing-masing akan memberikan hak pasangannya melebihi kewajibannya, dan tidak hanya menuntut haknya sendiri. Namun untuk itu, suami-istri harus bersabar atas kelemahan dan kekurangan bahkan kesalahan masing-masing pasangannya. Dalam Tafsir Al-Manar menjelaskan maksud ayat dari surat An-Nisa:19 adalah bahwa, “kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, karena suatu cacat pada fisik atau wataknya yang tidak termasuk kategori dosa karena urusan itu di luar kekuasaannya, atau kurang sempurna dalam melaksanakan kewajibannya dalam mengatur dan mengurusi rumah tangga, karena tidak ada orang yang sempurna, atau ada kecenderungan dalam hatimu pada selain pasanganmu, maka bersabarlah dan jangan gegabah menjatuhkan keputusan dan vonis pada mereka dan jangan tergesa menceraikan mereka, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Manajemen emosi dengan baik dalam arti bersabar atas tabiat dan keadaan kodratinya bahkan perilaku pasangan dengan tetap mentarbiyah dengan ihsan dalam dinamika keluarga akan membuahkan sikap cinta yang tulus, murni dan tanpa dibuat-buat. Senyuman, belaian dan perlakuan kasih yang diberikan adalah tulus ibarat merekahnya bunga alami dan bukan seperti senyuman basa-basi bagaikan merekahnya bunga imitatif atau bunga plastik. Sesuatu kebajikan dan sikap baik harus tumbuh dari kesadaran nurani yang ikhlas bila ingin mendapatkan timbal balik yang tulus. Kebaikan dan kebahagiaan pasangan tidak dapat dijamin hanya dengan nafkah lahir materi, namun justru perlakuan dan sikap sehari-hari yang simpatik adalah yang lebih efektif dalam menggaet hati pasangan dan akan memaklumi segala kekurangan fisik dan materi yang ada. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kalian tidak akan dapat memuaskan orang hanya dengan harta kalian, namun kalian akan dapat memuaskan orang dengan tatapan simpatik dan akhlaq yang baik.”

Keahlian manajemen emosi ini kita dapat melihat pada perilaku dan pola hubungan suami istri pada zaman Rasulullah saw. Kita melihat bagaimana Aisyah ra., ketika sedang emosi dan merasa jengkel terhadap Nabi saw, maka beliau tidak mengumbarnya, tetapi hanya diekspresikan melalui gaya bahasa yang berubah lain dari kebiasaan ketika sedang suka dan Nabi pun tanggap dengan cepat menangkap isyarat ketidaksukaan istrinya tersebut serta menyikapinya dengan penuh kesabaran dan introspeksi. Suatu hari Rasulullah saw mengatakan kepada istrinya, Aisyah ra, “saya sangat mengenal, jika kamu sedang suka padaku maupun jika kamu sedang jengkel.” Lalu Aisyah bertanya, “bagaimana engkau dapat mengetahuinya?” beliau menjawab, “jika kamu sedang suka, maka kamu menyatakan (dalam sumpah) ‘tidak, demi Rabb Muhammad’, namun jika kamu sedang jengkel, menyatakan, ‘tidak, demi Rabb Ibrahim’. (HR. Muslim).

Sikap demikian bukan merupakan kekurangan Aisyah, justru merupakan kelebihannya dalam mengelola emosi sehingga tidak melanggar norma kesopanan dan menggoyang keharmonisan keluarga. Sehingga Imam Muslim memasukkan hadits tersebut dalam judul ‘fadlu (keutamaan) Aisyah’ dari Bab Fadhail Shahabah.

Manajemen emosi di sini bukan berarti mematikan dan membekukan perasaan, tetapi justru kaum wanita harus dapat bersikap ekspresif, komunikatif dan proaktif, baik terhadap suami maupun keluarga. Dengan demikian, akan terbangun komunikasi sehat yang lancar tanpa ada sumbatan dan hambatan apapun. Inilah yang menyehatkan hubungan dalam rumah tangga. Sebagaimana aliran air dan tekanan udara yang terhambat, tersendat ataupun tersumbat akan beresiko mendatangkan malapetaka.

Di samping itu, dalam manajemen emosi diperlukan sikap arif kaum wanita untuk tidak memancing ego dan emosi suami untuk menggunakan kekerasan karena kejengkelan dan kebenciannya yang memuncak, sehingga dapat mematahkan tulang yang berlekuk tadi, atau memecahkan gelas kristal yang berdimensi tersebut. Artinya, bila tidak ingin dipatahkan atau dipecahkan, maka jangan menempatkan diri pada posisi menantang, melintang atau sembarangan sehingga mengundang perlakuan semena-mena atau kasar. Ibarat air maka sebenarnya yang dibutuhkan adalah alirannya dalam ketenangan dan kejernihannya sehingga dapat menghanyutkan perasaan pasangan dan mengalir ke satu arah dan bukan gemuruh riak yang memuakkan ataupun bukan ketenangan air yang menggenang yang membawa penyakit ataupun kotoran.

Pribadi yang shalihah adalah yang dapat mengelola emosi menjadi sebuah potensi yang membangun dan bukan merusak, merekatkan dan bukan meretakkan, mengokohkan dan bukan merobohkan serta mudah memberikan toleransi atau maaf pada orang lain. Sifat ini merupakan salah satu kunci kebahagiaan, kebaikan dan kelestarian rumah tangga. Allah berfirman: “dan orang-orang yang menahan amarah (emosi)nya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran:134)

Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah.

Gelas-Gelas Kristal; Manajemen Emosi Wanita (Bagian ke-1)

Baitul Muslim, Mar'ah Muslimah
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomo

Muslimah (indahparmalia.wordpress.com)dakwatuna.com – Allah berfirman: “Dan bergaullah bersama mereka (istri) dengan cara yang patut (diridhai oleh Allah). Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa:19).

Bila para pakar merasa kewalahan dan kebingungan untuk secara cermat dan pasti memahami hakikat manusia, seperti ekspresi Dr. Alexis Karel melalui bukunya Man is The Unknown yang menggambarkan akhir pencariannya pada frustasi, keputus-asaan dan jalan buntu dalam memahami hakikat dan perilaku manusia, maka tentunya manusia sendiri akan lebih sulit lagi meraba kejiwaan wanita yang pada aktualisasi emosinya bagaikan gelas-gelas kristal yang memiliki banyak dimensi, segi dan sudut sebagai bagian estetikanya namun pada saat yang sama secara embodied ia bersifat rawan pecah (fragile) perlu perlakukan lembut dan sensitif yang dalam bahasa Arab kaum wanita sering diistilahkan sebagai al-jins al-lathif (jenis lembut) terutama menyangkut dinamika kejiwaan, relung-relung emosional dan lika-liku perasaannya.

Dalam kodrat wanita terutama yang menyangkut emosinya yang demikian itu sebagai kelebihan sekaligus dapat pula berpotensi menjadi kekurangannya kadang kaum wanita sendiri sering salah paham dan sulit memahami dirinya apalagi mengendalikan dan mengelola emosinya secara baik. Padahal secara kodrati penamaan wanita sebagai terjemahan dari an-niswah dalam bahasa jawa merupakan kependekan dari wani ditata yang berarti berani ditata atau dikelola. Dengan demikian sebenarnya manusia itu sendiri sudah merasakan kodrat hidup dan apa yang dialaminya, sudah menangkap adanya sesuatu yang menjadi fitrah dan takdirnya sebagaimana Allah ungkapkan hal itu pada surat al-Qiyamah: 14. Namun secara empiris manusia lebih suka mencari jati dirinya di luar dirinya, lebih cenderung mencari faktor, oknum dan kambing hitam selain dirinya dengan menutup, menipu dan membodohi diri sendiri. Oleh karenanya Allah Sang Khalik mengingatkan umat manusia untuk melihat ke dalam, mengaca diri dan jujur pada diri sendiri sehingga dapat mengoptimalkan pengelolaan kekurangan dan kelebihannya tanpa dinodai upaya manipulasi dan distorsi. (QS. Adz-Dzariyat:21)

Ayat di atas sangat erat dan lekat dengan pasangan suami istri sebagai pesan pertama pernikahan. Ayat ini begitu agungnya melandasi ikatan perkawinan sehingga dicantumkan di halaman pertama buku nikah sebagai wasiat ilahi hubungan suami istri yang harus dilandasi kepada kesadaran tenggang rasa, ngrekso dan ngemong satu sama lain yang merupakan bahasa lain dari pengendalian perasaan dan manajemen emosi dalam rumah tangga.

Rasulullah bersabda:

“Terimalah wasiat tentang memperlakukan kaum wanita (istri) dengan cara yang baik. Karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang melekuk. Dan sesuatu yang paling melekuk itu adalah sesuatu yang terdapat pada tulang rusuk yang paling atas. Jika hendak meluruskannya secara paksa tanpa hati-hati, maka kalian akan mematahkannya. Sedang jika kalian membiarkannya, maka ia akan tetap melekuk. Oleh karena itu, terimalah wasiat memperlakukan wanita dengan baik.” (HR. Ahmad dan Al-Hafidz Al-Iraqi).

Pada riwayat lain dari hadits ini dijelaskan, bahwa sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk berlekuk. Jika kalian mencari kenikmatan darinya, maka kalian akan mendapatkannya. Sedangkan di dalam dirinya masih tetap ada sesuatu yang melekuk. Di mana jika kalian hendak meluruskannya, maka kalian akan mematahkannya. Patah di sini berarti perceraian. (HR. Muslim).

Syeikh Waliyullah Ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah (II/708) menjelaskan makna hadits di atas ialah: “terimalah wasiat dariku (rasulullah) dan gunakan untuk memahami wanita (isteri). Karena pada penciptaannya terdapat sesuatu yang ‘melekuk’. Sebagaimana lazimnya setiap sesuatu akan mewarisi sifat dasarnya. Jika seseorang ingin mengarungi bahtera rumah tangga bersama pasangannya, maka ia harus siap untuk mentolerir dan memaafkan perkara-perkara sepele yang terjadi dan menahan amarah karena sesuatu yang tidak disukainya.”

Dalam hal itu, Rasulullah saw tidak bermaksud memvonis bahwa wanita itu adalah makhluk yang berperangai buruk. Beliau hanya ingin menyampaikan fakta, fenomena dan realitas nyata agar kaum pria bersikap realistis dan siap berinteraksi, bergaul dengan mitra hidupnya dan bagi kaum wanita agar dapat mawas diri. Artinya, jika dalam diri istrinya didapati suatu letupan maupun ledakan emosi, serta menyaksikan ekspresi maupun luapan perasaan yang tidak berkenan di hatinya, maka ia akan menghadapinya dengan sabar dan bermurah hati, tanpa bersikap reaktif dan terpengaruh amarah sehingga menumbuhkan kebencian dan rasa muak, namun ia justru akan melihat sisi baik mitranya. Karena ia hanyalah seorang manusia yang mempunyai sisi baik dan sisi buruk sebagaimana dirinya. Karena itu, Rasulullah bersabda: “seorang mukmin hendaknya tidak membenci mukminat hanya karena satu perangai yang dianggap buruk. Sebab, jika ia membenci satu perangai, maka pastilah ada perangai lain yang akan ia sukai.”

Sejarah tidak pernah menjumpai dalam satu agama atau tradisi mana pun, suatu ajaran yang begitu care, apresiatif dan menghargai kodrat dan hak-hak wanita melebihi doktrin ajaran Islam. Adakah hikmah dibalik kehendak Allah menciptakan wanita dalam keadaan demikian? Memang, Allah tidak menciptakan sesuatu secara sia-sia (QS. Ali-Imran: 191) dan Dia mengamanahkan kepada kaum wanita tugas-tugas penting dan sensitif seperti hamil, menyusui dan mendidik anak. Untuk itu Allah saw mempercayakan kepada mereka sifat-sifat dan pemberian yang sesuai tugasnya, yang berbeda dari sifat kaum pria dan pembawaannya.

Dr. Frederick mengatakan bahwa kaum wanita mengalami proses stagnasi yang tidak hanya terjadi pada perubahan fisiknya saja, melainkan juga pada tabiat dan keadaan psikisnya. Karena seandainya ia tidak memiliki emosi dan sifat kemanjaan anak-anak, maka pastilah ia tidak mampu menjadi ibu yang baik. Ia bisa dipahami anak-anak karena perasaannya yang masih terdapat unsur kekanak-kanakan.

Menurutnya, ia akan tetap seperti anak-anak dalam kemanjaan dan emosinya, bahkan dalam perkembangannya wanita lebih banyak bersifat kekanak-kanakan. Kelembutan hatinya dan sensitivitas perasaannya cenderung semakin bertambah lebih cepat dibanding daya pikirnya. Praduga, perasaan dan emosinya lebih banyak dipakainya daripada rasionya. Karena ia terkondisikan untuk lebih banyak bersikap pasif daripada bersifat aktif dan lebih banyak menerima dengan sikap pasrah daripada bersikap menguasai. Ia secara kodrati tercipta untuk berada di tengah anak-anak dan suami. Demikianlah posisinya dalam keluarga, yaitu pada titik sentral, untuk menjaga keharmonisan anggota keluarga dengan segala kecenderungan masing-masing. (Hayatuna al Jinsiyah, hal. 70).

Jika suami mampu memahami, maka ia akan menerima kenyataan dan mendapat kesenangan dari istri dalam batas-batas fitrahnya. Tetapi, jika ia tidak mampu memahaminya, maka ia akan berusaha menjadikan istrinya berbuat sesuai dengan ego kelaki-lakiannya, dari segi berfikir, sehingga mungkin ia akan gagal. Mungkin saja ia akan menghancurkan keluarganya, tempat di mana ia menyandarkan hidupnya. Karena ia menuntut hal mustahil di luar kodratnya. Oleh karenanya, Nabi saw berusaha mengingatkan suami agar hendaknya mendampingi, membimbing, mendidik dan tidak menjatuhkan hukuman dan vonis kepada istrinya hanya karena memiliki suatu sifat yang jelek, sebab ia pun demikian.

Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya Rakaiz al Iman Bayna al Aqlu wa al Qalbu, menegaskan bahwa Islam adalah agama yang agung, rahmatnya telah menyentuh kaum wanita dan melindunginya dari kesewenangan kaum pria. Ia telah memerdekakan perikemanusiaannya, baik jiwa maupun raga. Islam mengajarkan kepada pemeluknya mengenai posisi dan jati diri wanita untuk mengemban tugas dan fungsi keberadaannya. Oleh karena itu, mereka sebaiknya menjaga dan mengelola nilai-nilai kewanitaan yang ada pada diri mereka untuk menghadapi perlakuan yang dapat membuat mereka melepaskan eksistensi biologis dan psikologisnya.

Ketika fenomena dan realitas kewanitaan ini dipungkiri akan terjadi disharmoni dalam kehidupan keluarga dan masyarakat karena tidak mengindahkan sunnatullah. Oleh karena itu Rasulullah saw berpesan: “Sesungguhnya kaum wanita itu adalah saudara kaum pria, maka sayangilah mereka sebagaimana kalian menyayangi diri kalian sendiri.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). Islam telah mengangkat harkat dan derajat kaum wanita serta menjadikan mereka sebagai saudara yang sejajar dengan kaum pria. Syariat Islam telah memelopori pengibaran bendera kesetaraan gender dengan menjadikan kaum wanita sebagai mitra suami dalam mengelola keluarga dan masyarakat.

Kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi wanita ini merupakan kunci pertalian cinta kasih pasangan suami istri yang menjadi jembatan menuju keluarga sakinah (QS.Ar-Rum:21). Dengan itu Allah menumbuhkan benih cinta di hati suami-istri sehingga dapat mendorong untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing dalam bentuk yang paling sempurna tanpa ada perasaan tekanan dan kesan paksaan. Cinta suci tersebut merupakan perasaan tulus yang mendalam tanpa kedustaan dan kepura-puraan serta merasuki hidup sepanjang hayat. Nabi saw. pernah mengungkapkan kenangan cintanya pada Khadijah, “aku sungguh telah mendapatkan cinta sucinya.” (HR. Muslim).

Hal ini bukan berarti tumbuh secara tiba-tiba tanpa adanya upaya menanam dan merawat benih cinta, karena beliau memulai perkawinan dengan perasaan simpati yang netral. Namun benih cinta kasih pasangan suami istri yang shalih ini cepat tumbuh berkembang secara subur sebagai buah dari pergaulan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf), kesetiaan, akhlaq setia, saling memberi dan menerima dengan tenggang rasa yang tinggi. Bukankah doktrin ta’aruf dalam Islam adalah untuk menuju tawasahu bil haqqi dalam atmosfir toleransi dan kesabaran terhadap watak masing-masing. Dengan sikap demikian maka suami istri menikmati kehidupan bersama yang baik dan menyenangkan.

– bersambung…

Aku Bahagia dalam Islam

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

dakwatuna.com – Keputusan paling besar yang pernah kulakukan dalam hidupku ternyata juga merupakan suatu hal yang luar biasa sederhana. Mengucapkan dua kalimat syahadat ini, kulakukan setahun lalu di depan dua orang saksi. “Aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya.”Ucapku, dan mulai saat itu, aku menjadi seorang Muslim.

Antara yakin dan sedikit tidak percaya dengan apa yang telah dilakukannya, Hilary Saunders berusaha untuk menjajaki kembali keputusannya. Mualaf asal Inggris dan wartawati Al Jazeera itu berada dalam kegamangan. Negeri Yordanlah yang akan menjadi saksi keteguhan iman yang telah menjadi pilihannya.

Hingga detik saat mengucapkan syahadat itu, ia masih belum sepenuhnya yakin bahwa itulah yang ingin ia lakukan. “Bagaimana kalau suatu pagi aku terbangun dan berubah pikiran? Mungkinkah aku akan merasa telah melakukan sebuah kesalahan besar?”

Tetapi nyatanya dia merasakan betapa telah berubah hidupnya. Dia tak tahu bagaimana harus menggambarkannya, tetapi saat dia mengucapkan kata-kata itu, dia merasakan kebahagiaan dan rasa cinta memenuhi seluruh relung hatinya dan baru empat hari kemudian dia berhenti merasa seakan-akan tengah melayang-layang.

“Aku hampir saja menggambarkan pengalaman batinku itu sebagai coming out, keluar, karena untuk pertama kali suatu bagian penting namun sangat rahasia dari diriku, kini muncul dan diketahui orang lain.”

Prosesi keislamannya barangkali tidak lebih dari sekadar beberapa menit, tetapi itu adalah puncak dari sebuah pencarian yang telah dijalani sepanjang hidupnya. Kedua orangtuanya agnostik—mereka tidak percaya akan adanya Tuhan, dan membesarkannya dan kedua saudara perempuannya tanpa agama supaya mereka bisa memutuskan sendiri bila dewasa nanti.

Sejak kecil dirinya sudah menyadari bahwa dia tengah mencari sesuatu, entah apa. Pada saat-saat tertentu dia bahkan merasa seakan-akan seperti sebuah kapal tanpa kemudi di laut yang bergolak, tak tahu ke mana harus berlabuh. Saat mulai kuliah, Hilary muda mulai meneliti berbagai kepercayaan yang ada. Misalnya, sebuah sistem falsafah yang dikenal sebagai The Work, yang ternyata banyak menyontek Islam, meskipun dia belum tahu ketika itu. Hilary juga meneliti berbagai filosofi new-age, mencoba meditasi Budha, dan membaca berbagai buku pengembangan diri.

Di masa lalu pun hubungan dengan lawan jenis seringkali bermasalah. Suatu kali, sesudah putus dari seorang pacar, dia baca buku karya Robin Norwood yang berjudul Wobel Who Love Too Much. Sebenarnya Hilary sudah pernah membacanya dan dia berpikir buku itu hanya cocok untuk perempuan-perempuan yang terlalu tergantung kepada pacar atau suami yang justru senang memukuli mereka. Tapi kali ini Hilary berpikir. Jangan-jangan, dia pun sama dengan semua perempuan yang diceritakan oleh Robin Norwood itu, maka dia pun mengerjakan semua hal yang disarankan penulisnya.

Buku itu mendorong perempuan untuk mengembangkan spiritualitasnya, mencoba lebih menghargai diri sendiri, dan barangkali juga mengikuti konseling. “Ini sebuah titik penting dalam perjalanan hidupku karena aku, saat itu, juga sedang mempelajari konsep reliji yang mengajari orang tentang kasih sayang. Benakku penuh dengan pergulatan konsep ketuhanan. Aku terus mencari ke mana seharusnya aku melangkah secara spiritual.”

Seiring berjalannya waktu, kemudian Hilary mendapatkan pacar seorang pria Muslim. “Sebenarnya sama sekali tidak ada niatku berpacaran dengan seorang Muslim.” Kenang Hilary. Ironisnya, kebetulan saja hal ini terjadi sesudah mereka mabuk-mabukan (bisa dibilang, pria itu adalah seorang muslim yang saat itu tengah khilaf dan melakukan kesalahan).

“Pada saat itu, pengetahuanku nol tentang Islam. Aku tidak pernah punya teman muslim di masa kecil dan remaja, dan hampir semua citra yang kumiliki tentang agama ini negatif. Pada pandanganku, Islam itu kuno, peninggalan jaman kegelapan, sangat menindas dan otoriter terhadap perempuan. Persepsiku bahwa Islam itu sangat anti perempuan menjadi salah satu sumber perdebatan kami. Aku menantang pacarku ketika itu untuk menjelaskan mengapa Islam demikian anti feminis? Aku keluarkan semua argumentasi yang biasa dikemukakan orang di Barat tentang Islam, seperti: “Islam itu mengajari laki-laki untuk merendahkan perempuan. Kalau tidak, kenapa Islam mengizinkan pria memiliki empat orang istri?” Serentetan hujatan nyaris tak bisa dipatahkan pacarnya.

“Jujur saja, semua perdebatan soal Islam inilah yang membuat kami bertahan pacaran selama empat tahun. Dia selalu berusaha mencoba menjawab semua pertanyaanku, dan memberiku rujukan dari Al-Quran dan hadits. Aku mulai membacanya sendiri, dan perlahan-lahan semua pertanyaanku mulai terjawab, sampai aku tersadar bahwa banyak sekali pandanganku yang keliru tentang Islam. Karena sedikitnya pengetahuanku—misalnya tentang bahwa laki-laki boleh beristri empat—aku keliru menyimpulkan.” Hilary mencoba meyakinkan diri.

“Salah satu hal yang juga kalau kusadari adalah bahwa dalam Islam, poligami bukannya didorong dan dipromosikan melainkan ditolerasi. Kadang-kadang memang poligami menjadi kebutuhan. Tetapi selalu ada rambu-rambu penjaganya. Kalau seorang pria menikah namun istrinya tak bisa memberinya anak, maka ia boleh mengambil istri kedua dengan kesepakatan dari istri pertama. (di lain pihak, bila seorang pria tidak bisa memberi anak, maka si istri dapat meminta cerai). Bagiku, ini cara yang lebih baik daripada yang terjadi di barat, yang memungkinkan si suami menceraikan istri tanpa tunjangan apa pun.” Terang Hilary makin mantap.

“Doktrin tentang poligami ini sebenarnya adalah untuk melindungi wanita. Bukan untuk mendorong kaum pria mengumpulkan sekian istri untuk berbangga-bangga. Inilah jenis pertanyaan yang aku lontarkan sendiri, lalu aku perdebatkan sampai kehabisan jawaban sendiri. Misalnya, mengapa perempuan membutuhkan perlindungan pria? Mengapa perempuan tak boleh memiliki lebih dari satu suami? Aku tersadar bahwa seorang perempuan tidak mungkin memiliki empat suami karena tentu akan sulit menentukan siapa ayah anak-anaknya, dan para ayah itu bisa saja lalu berkelahi soal siapa yang harus menunjang kehidupan anak-anak tersebut.” Hilary lalu tersadar, betapa sangat masuk akalnya Islam.

Beberapa waktu kemudian, Hilary dan pacarnya pisahan. Hilary lalu pergi berlibur ke Yordania. Di sanalah dia akhirnya memutuskan untuk memeluk Islam. Entah bagaimana caranya dia sampai pada keyakinan itu, yang jelas tiba-tiba saja dia yakin sepenuhnya. Di tempat yang sungguh indah itulah Hilary menyaksikan bagaimana cara sesama muslim berinteraksi, seperti apa rasanya mendengar adzan—sungguh -sungguh dia tersentuh karenanya.

Sekembalinya ke Inggris, dia mendaftar ke sebuah kursus mengenal Islam selama tiga hari di Masjid Agung di Regent’s Park, di utara London. Di penghujung hari yang ketiga itulah Hilary memutuskan bahwa sudah tiba waktunya dia bersyahadat.

Pada saat mengikuti kursus itu Hilary mendapat sejumlah teman baik. Tentu saja, sebagian besar sahabat muslimnya ada juga yang mualaf. Tentu, banyak sekali orang masuk Islam di Inggris—sekitar 10.000 dari 1.8 juga Muslim di Inggris adalah mualaf berkulit putih atau Afrika Karibia.

Salah satu masalah yang mereka hadapi adalah, karena mereka tidak tumbuh besar di tengah-tengah masyarakat Muslim, sulit bagi mereka untuk membangun hubungan antar manusia. Islam tidak mengizinkan pacaran. Islam memerintahkan masyarakat untuk membantu menikahkan orang-orang yang belum menikah.

“Aku sendiri merasa akan ada kendala teknis dari pendekatan ini secara pribadi. Tetapi aku sendiri sangat, sangat ingin menikah dan aku yakin pada akhirnya aku akan mendapatkan seorang suami yang baik, insya Allah.” Ungkap Hilary penuh harap.

Sejak memeluk Islam, Hilary memutuskan untuk berpakaian Islami dan mengenakan Jilbab. Di balik jilbab ada konsep mengenai perlindungan diri dengan berpakaian secara sopan, tidak untuk memamerkan diri atau menarik perhatian lawan jenis, serta mencegah iri hati. Islam menasihati kedua pihak, bukan hanya perempuan, untuk berpakaian sopan.

“Saat pertama kali hendak mengenakan jilbab, aku sempat merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati apa kiranya reaksi orang melihatku.” Itulah bayangan yang selalu muncul di hadapannya. Namun Keyakinan Hilary telah mengikis semua bayangan kelam itu.

“Kuingatkan diriku sendiri bahwa aku sudah mengambil sebuah komitmen, dan jilbab adalah tanda lahiriah komitmen tersebut. Sesudah mengenakannya, aku merasa sangat aman dan terlindungi. Aku merasa lebih menghargai diriku sendiri. Aku merasa telah menemukan tempatku yang sesungguhnya di dunia.” Allahu Akbar.

Berdakwahlah! Anda Akan Mulia

Fiqih Dakwah
Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com - Dakwah adalah aktivitas menyeru manusia kepada Allah swt dengan hikmah dan pelajaran yang baik dengan harapan agar objek dakwah (mad’u) yang kita dakwahi beriman kepada Allah swt dan mengingkari thaghut (semua yang diabdi selain Allah) sehingga mereka keluar dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya Islam.

Jika kita melihat ayat-ayat Al-Quran maupun hadits-hadits Rasulullah saw, kita akan banyak menemukan fadhail (keutamaan) dakwah yang luar biasa. Dengan mengetahui, memahami, dan menghayati keutamaan dakwah ini seorang muslim akan termotivasi secara kuat untuk melakukan dakwah dan bergabung bersama kafilah dakwah di manapun ia berada.

Mengetahui keutamaan dakwah termasuk faktor terpenting yang mempengaruhi konsistensi seorang muslim dalam berdakwah dan menjaga semangat dakwah, karena keyakinan terhadap keutamaan dakwah dapat menjadikannya merasa ringan menghadapi beban dan rintangan dakwah betapapun beratnya.

Beberapa keutamaan dakwah yang dapat kita sebutkan dalam pokok bahasan ini adalah:

1. Dakwah adalah Muhimmatur Rusul (Tugas Utama Para Rasul alaihimussalam)

Para rasul alaihimussalam adalah orang yang diutus oleh Allah swt. untuk melakukan tugas utama mereka yakni berdakwah kepada Allah. Keutamaan dakwah terletak pada disandarkannya kerja dakwah ini kepada manusia yang paling utama dan mulia yakni Rasulullah saw. dan saudara-saudara beliau para nabi & rasul alaihimussalam.

“Katakanlah (Hai Muhammad): “Inilah jalanku: aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf (12): 108).

Ayat di atas menjelaskan jalan Rasulullah saw. dan para pengikut beliau adalah jalan dakwah. Maka barangsiapa mengaku menjadi pengikut beliau saw. ia harus terlibat dalam dakwah sesuai kemampuannya masing-masing.

Tentang Nabi Nuh as. Allah mengisahkan kesibukan beliau yang tak kenal henti dalam menjalankan tugas berdakwah siang dan malam:

“Nuh berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah mendakwahi (menyeru) kaumku malam dan siang.” (Nuh (71): 5).

Tentang Nabi Ibrahim as. Allah mengisahkan dakwah yang beliau lakukan kepada ayah dan ummatnya:

“Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?” Mereka menjawab: “Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya”. Berkata Ibrahim: “Apakah berhala-berhala itu mendengar (doa)mu sewaktu kamu berdoa (kepadanya)?, Atau dapatkah) mereka memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?” Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian”. Ibrahim berkata: “Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah. Kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu?. Karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan semesta alam. (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali). Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (Asy-Syuara (26): 69-82).

Tentang Nabi Musa as, Allah swt mengisahkan dakwah beliau dalam banyak ayat-ayat Al-Quran, diantaranya:

“Dan sesunguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Maka Musa berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusan dari Tuhan seru sekalian alam”. Maka tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat- mukjizat Kami dengan serta merta mereka mentertawakannya.” (Az-Zukhruf (43): 46-47).

Tentang Nabi Isa as, Allah swt mengisahkan dakwah beliau dalam firman-Nya:

“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmah[1] dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada) ku”. Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.” (Az-Zukhruf (43): 63-64).

Pintu kenabian dan kerasulan memang sudah tertutup selama-lamanya, namun kita masih dapat mewarisi pekerjaan dan tugas mulia mereka, sehingga kita berharap semoga Allah swt. berkenan memuliakan kita.

2. Dakwah adalah Ahsanul A’mal (Amal yang Terbaik)

Dakwah adalah amal yang terbaik, karena da’wah memelihara amal Islami di dalam pribadi dan masyarakat. Membangun potensi dan memelihara amal sholeh adalah amal da’wah, sehingga da’wah merupakan aktivitas dan amal yang mempunyai peranan penting di dalam menegakkan Islam. Tanpa da’wah ini maka amal sholeh tidak akan berlangsung.

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berdakwah (menyeru) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?” (Fushilat (41): 33).

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya: Allah swt menyeru manusia: “Wahai manusia, siapakah yang lebih baik perkataannya selain orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allah, kemudian istiqamah dengan keimanan itu, berhenti pada perintah dan larangan-Nya, dan berdakwah (mengajak) hamba-hamba Allah untuk mengatakan apa yang ia katakan dan mengerjakan apa yang ia lakukan.” (Tafsir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan Fi Ta’wil Al-Quran, 21/468).

Bagaimana tidak akan menjadi ucapan dan pekerjaan yang terbaik? Sementara dakwah adalah pekerjaan makhluk terbaik yakni para nabi dan rasul alaihimussalam.

Sayyid Quthb rahimahullah berkata dalam Fi Zhilal Al-Quran:

“Sesungguhnya kalimat dakwah adalah kalimat terbaik yang diucapkan di bumi ini, ia naik ke langit di depan kalimat-kalimat baik lainnya. Akan tetapi ia harus disertai dengan amal shalih yang membenarkannya, dan disertai penyerahan diri kepada Allah sehingga tidak ada penonjolan diri di dalamnya. Dengan demikian jadilah dakwah ini murni untuk Allah, tidak ada kepentingan bagi seorang da’i kecuali menyampaikan. Setelah itu tidak pantas kalimat seorang da’i kita sikapi dengan berpaling, adab yang buruk, atau pengingkaran. Karena seorang da’i datang dan maju membawa kebaikan, sehingga ia berada dalam kedudukan yang amat tinggi…” (Fi Zhilal Al-Quran 6/295).

Dakwah memiliki keutamaan yang besar karena para da’i akan memperoleh balasan yang besar dan berlipat ganda (al-hushulu ‘ala al-ajri al-‘azhim).

قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِعَلِيٍّ: ((فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ)) (رواه البخاري ومسلم وأحمد

Sabda Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib: “Demi Allah, sesungguhnya Allah swt menunjuki seseorang dengan (da’wah)mu maka itu lebih bagimu dari unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim & Ahmad).

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani ketika menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa: “Unta merah adalah kendaraan yang sangat dibanggakan oleh orang Arab saat itu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa usaha seorang da’i menyampaikan hidayah kepada seseorang adalah sesuatu yang amat besar nilainya di sisi Allah swt. lebih besar dan lebih baik dari kebanggaan seseorang terhadap kendaraan mewah miliknya.

Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan:

« يَا عَلِيُّ، لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ عَلَى يَدَيْكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ » (رواه الحاكم في المستدرك

“Wahai Ali, sesungguhnya Allah swt menunjuki seseorang dengan usaha kedua tanganmu, maka itu lebih bagimu dari tempat manapun yang matahari terbit di atasnya (lebih baik dari dunia dan isinya). (HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ)) (رواه الترمذي عن أبي أمامة الباهلي.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt memberi banyak kebaikan, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, sampai semut-semut di lubangnya dan ikan-ikan selalu mendoakan orang-orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.” (HR. Tirmidzi dari Abu Umamah Al-Bahili).

Berapakah jumlah malaikat, semut dan ikan yang ada di dunia ini? Bayangkan betapa besar kebaikan yang diperoleh oleh seorang da’i dengan doa mereka semua!

Imam Tirmidzi setelah menyebutkan hadits tersebut juga mengutip ucapan Fudhail bin ‘Iyadh yang mengatakan:

عَالِمٌ عَامِلٌ مُعَلِّمٌ يُدْعَى كَبِيرًا فِي مَلَكُوتِ السَّمَوَاتِ

“Seorang yang berilmu, beramal dan mengajarkan (ilmunya) akan dipanggil sebagai orang besar (mulia) di kerajaan langit.”

Keagungan balasan bagi orang yang berdakwah tidak hanya pada besarnya balasan untuknya tetapi juga karena terus menerusnya ganjaran itu mengalir kepadanya meskipun ia telah wafat.

Perhatikan sabda Rasulullah saw. berikut ini:

((مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّـئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ)) (رواه مسلم عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنه.

“Siapa yang mencontohkan perbuatan baik dalam Islam, lalu perbuatan itu setelahnya dicontoh (orang lain), maka akan dicatat untuknya pahala seperti pahala orang yang mencontohnya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka yang mencontohnya. Dan barangsiapa mencontohkan perbuatan buruk, lalu perbuatan itu dilakukan oleh orang lain, maka akan ditulis baginya dosa seperti dosa orang yang menirunya tanpa mengurangi mereka yang menirunya.” (HR. Muslim dari Jarir bin Abdillah ra). (bersambung)

[1] Yang dimaksud dengan hikmah di sini ialah kenabian, Injil dan hukum.

Menggapai Kemuliaan Akhlaq

Tazkiyatun Nufus
Oleh: Tim dakwatuna.com


masjid dan doadakwatanua.com - Akhlaq menurut ahli ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatinggi, Allah swt.

I. Definisi Akhlaq

Beberapa definisi akhlaq antara lain adalah :

1. Menurut Ibnu Abbas Ra ketika menafsirkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’alaa dalam surat Al Qolam ayat 4 yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlaq yang agung”, akhlaq yang agung tersebut adalah dien yang agung (Islam).

Demikian pula pendapat Mujahid, Abu Malik, As Suddi, Rabi bin Anas, Ad Dhahak, dan Ibnu Zaid. Didalam Shohih Muslim, Aisyah ra pernah ditanya tentang akhlaq Nabi Saw, lalu beliau menjawab bahwa akhlaq Beliau Saw adalah Al Quran, karena segala perintah yang terdapat didalam Al Quran beliau laksanakan dan segala larangan yang terdapat didalamnya beliau tinggalkan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali berkata “Dengan ini menjadi jelas bahwa akhlaq yang agung dimana Nabi disifati dengannya adalah dien yang mencakup semua perintah-perintah Alloh Ta’alaa dan larangan-Nya, sehingga bersegera untuk melaksanakan segala yang dicintai Alloh dan di ridloi-Nya dan menjauhi segala yang dibenci dan dimurkai-Nya dengan sukarela dan lapang dada” (Makarimul Akhlaq/23) .

2. Ibnul Atsir menyebutkan dalam An Nihayah (2/70) tentang “al khuluqu” dan “al khulqu” yang berarti dien, tabiat dan sifat. Syaikh ‘Utsaimin menerangkan tentang hakikatnya adalah potret batin manusia yaitu jiwa dan kepribadiannya (Makarimul Akhlaq, hal 9).

3. Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah menyebutkan beberapa pendapat tentang definisi akhlaq didalam bukunya Madarijus Saalikin antara lain akhlaq yang baik adalah berderma, tidak menyakiti orang lain dan tangguh menghadapi penderitaan. Pendapat lain menyebutkan bahwa akhlaq yang baik adalah berbuat kebaikan dan menahan diri dari keburukan. Ada lagi yang mengatakan, “membuang sifat-sifat yang hina dan menghiasinya dengan sifat-sifat mulia”

4. Imam Ibnu Qudamah menyebutkan dalam Mukhtashor Minhajul Qoshidiin bahwa akhlaq merupakan ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan, jika perbuatan itu baik maka disebut akhlaq yang baik, dan jika buruk maka disebut akhlaq yang buruk.

II. Keutamaan akhlaq yang baik

Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menyebutkan keutamaan-keutamaan akhlaq yang mulia yaitu :

1. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab masuknya orang yang memiliki akhlaq yang mulia tersebut kedalam Jannah (surga)

Nabi Saw bersabda yang artinya “Saya adalah penjamin bagi orang yang meninggalkan mira (debat kusir) meskipun ia ada dipihak yang benar dengan mendapatkan rumah di jannah terendah dan bagi orang yang baik akhlaqnya akan mendapatkan rumah di jannah yang tertinggi” (hadits riwayat Abu Daud/4800, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, dengan sanad yang hasan)

Hadits lainnya yaitu dari Abu Huroiroh Rodliyallohu ‘anhu bahwasannya Rosululloh Saw pernah ditanya tentang perbuatan yang menyebabkan banyak manusia yang masuk Jannah, maka beliau menjawab yang artinya “Takwa kepada Alloh dan akhlaq yang baik”, beliau ditanya pula tentang penyebab yang menjadikan banyak manusia masuk neraka, maka beliau menjawab “mulut dan kemaluan” (diriwayatkan Tirmidzi (2003), Ibnu Majah (4246), Ahmad (2/291, 392, 442), Ibnu Hibban (Mawarid, 1923), Al Baghowi (Ma’alim At Tanziil, 4/377 dan Syarhu As Sunnah 13/79-80, Al Khoroithi (Makarimul Akhlaq hal. 10), dan Bukhori (Al Adab Al Mufrod, 442). Sanad hadits ini hasan

2. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Hamba-hamba Alloh yang paling dicintai-Nya adalah yang paling baik akhlaqnya diantara mereka” (hadits riwayat Thabrani (471) dan Hakim (4/399-401)

3. Akhlaq yang mulia merupakan penyebab seorang hamba dicintai

Rosululloh Saw. Beliau Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat dengan majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaqnya diantara kalian” (hadits riwayat Tirmidzi (2018) dengan sanad yang hasan, dan memiliki penguat yang diriwayatkan Imam Ahmad (2/189) dengan sanad yang shohih, sehingga kesimpulannya hadits ini shohih lighoirihi)

4. Akhlaq yang mulia mendapatkan timbangan yang paling berat di hari kiamat.

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesuatu yang paling berat dalam timbangan seorang mukmin di hari kiamat adalah akhlaq yang baik” (hadits riwayat Abu Daud (4799), Ahmad (6/446-448), Ibnu Hibban (481) dan selain mereka)

5. Akhlaq yang mulia meninggikan derajat seseorang disisi Alloh

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Sesungguhnya seseorang itu dengan sebab akhlaqnya yang baik, sungguh akan mencapai derajat orang yang sholat malam dan shaum di siang hari” (hadits shohih riwayat Abu Daud (4798), Hakim (1/60) dan selainnya). Beliau Saw juga bersabda yang artinya “Sesungguhnya seorang muslim yang dibimbing lurus (oleh Alloh) benar-benar akan mencapai derajat ahli shaum dan ahli ibadah (sholat) yang selalu melantunkan ayat-ayat Alloh disebabkan karakternya yang mulia dan akhlaqnya yang baik” (hadits shohih riwayat Ahmad (2/17 dan 220)

6. Akhlaq yang mulia merupakan sebaik-baik amalan manusia

Rosululloh Saw bersabda yang artinya ” Wahai Abu Dzar, maukah aku tunjukkan kepadamu dua hal ; keduanya itu sangat ringan dipikul dan sangat berat dalam timbangan dibandingkan selain keduanya?” Abu Dzar menjawab, “Tentu wahai Rosululloh.”, beliau bersabda, “Engkau harus berakhlaq yang baik dan harus banyak diam, demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak ada amalan manusia yang menyamai keduanya.” (diriwatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam As Shamt (112 dan 554), Al Bazzar (Kasyful Atsar, 4/220) dan lain-lain. Hadits ini derajatnya hasan

7. Akhlaq yang mulia menambah umur

8. Akhlaq yang mulia menjadikan rumah makmur

Rosululloh Saw bersabda yang artinya “Akhlaq yang baik dan bertetangga yang baik, keduanya menjadikan rumah makmur dan menambah umur” (hadits shohih riwayat Ahmad, 6/159)

Dari uraian tentang definisi dan keutamaan akhlaq diatas, semoga menjadikan kita dapat mengerti tentang akhlaq menurut ahli ‘ilmu yang benar-benar ahli dibidangnya yaitu ‘ilmu syar’i yang mulia dan menjadikan kita tidak salah kaprah dalam memahaminya karena pada umumnya banyak orang yang memandang akhlaq hanya sebagai sesuatu yang berkaitan tentang hubungan manusia dengan sesama manusia saja, padahal akhlaq juga mencakup hubungan manusia dengan Yang Mahatingg, Yang ada di atas Arsy sana, Yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar, dan tidak ada yang serupa dengan-Nya yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’alaa, Dialah Pencipta manusia, sehingga hanya Dialah yang Mahatahu tentang apa yang terbaik buat para hamba-Nya sehingga Dia memerintahkannya melalui KalamNya yang mulia yaitu Al Quran dan melalui lisan utusannya yang mulia yaitu Nabi Muhammad Saw. Wallahu a’lam

November 22, 2009

Wanita Solehah Idaman Mujahid

Taken from: www.iLuvislam.com
nurinaqistina
Editor: everjihad


"Indahnya kalammu wanita solehah yang berjuang disisi mujahid soleh....
Seindah-indah perhiasan dunia adalah wanita yang solehah...”

Kumulakan warkah ini dengan bait indah yang ditinggalkan Rasulullah saw kepada seisi alam. Wanita solehah! Idaman semua muslimin di alam maya ini. Alhamdulillah, itulah anjuran Islam yang kita cintai, pilihlah wanita yang mampu menyejukkan pandanganmu dan juga baitul muslim yang bakal dibina tika sampai saat itu, insyaAllah.

”Dinikahi seorang wanita itu kerana empat perkara hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah hal keagamaannya, maka beruntunglah kedua-dua tanganmu..”

Wanita solehah idaman mujahid soleh yang malunya menjadi perisai dirinya, yang zikirnya menjadi penawar dirinya; tak gentar di acah mehnah duniawi kerana dia rindukan wangian syurgawi, dia berpegang pada janji yang terpatri di lubuk hati. Telah dinukilkan panduan sepanjang zaman, itulah lirikan utama buatmu memilih calon isteri. Tiap baris itu telah menjadi hafalanku sejak aku mengenali dunia baligh ini.

Jika harta yang kau idamkan, ketahuilah diriku tidak punya apa-apa harta di dunia ini melainkan ilmu agama yang telah dititipkan buatku oleh mama dan abah. Tiada harta untuk kupersembahkan, hanya ketenangan yang mampu aku sediakan buatmu kerana aku pernah terbaca kata-kata ...

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang.¨ (Rum: 21)

Jika keturunan yang mulia itu yang kau dambakan, ketahuilah jua aku di bawah pengawasan Allah sebagai penjaga mutlak diriku. Aku adalah keturunan mulia, ayahanda Nabi Adam as dan bonda Hawa a.s, sama seperti mu.

”... maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengasihi orang yang bertawakal kepadaNya. Jika Allah menolong kamu maka, tiada seseorangpun yang boleh menghalang kamu, dan jika ia mengecewakan kamu, maka siapakah yang dapat menolong kamu sesudah Allah (menetapkan demikian) ? dan ingatlah kepada Allah jualah hendaknya orang yang beriman itu berserah diri...” (Ali Imran : 159-160)

Kecantikan, itulah pandangan pertama setiap insan. Malah aku meyakini bahawa kau juga tidak terlepas seperti insan yang lain. Ketahuilah, jika kecantikan itu yang kau inginkan daripada diriku, kau telah tersalah langkah. Tiada kecantikan yang tidak terbanding untuk kupertontonkan padamu. Telah aku hijabkan kecantikan diriku ini dengan amalan ketaatan

kepada tuntutan agama yang kucintai. Kau hanya membuang masa jika kau menginginkan kecantikan lahiriah semata-mata. Aku memerlukan engkau untuk bersama-samaku menegakkan dakwah islamiyyah ini, dan aku merelakan diri ini menjadi penolongmu untuk membangunkan sebuah markas dakwah dan tarbiyyah ke arah jihad hambaNya kepada Penciptanya yang agung. Pendirianku...pernikahanku akan ku jadikan medan pencarian ilmu agama sebagai risalah demi meneruskan perjuangan Islam. Aku masih kekurangan ilmu agama, tetapi berbekalkan ilmu agama yang telah dibekalkan ini. Aku ingin menjadi isteri yang sentiasa mendapat keredhaan Allah dan suamiku untuk memudahkan aku membentuk usrah muslim antara aku, suamiku dan anak-anak untuk dibaiahkan dengan ketaatan kepada Allah Yang Maha Esa. Aku bercita-cita bergelar pendamping solehah, seperti mana yang dijanjikan Rasul,

" Semoga Allah memberi rahmat kurnia kepada lelaki yang bangun di tengah malam lalu dia sembahyang dan membangunkan isterinya, maka sekiranya enggan juga bangun untuk bersembahyang, dia merenjiskan air ke mukanya. Semoga Allah memberi rahmat kurnia kepada wanita yang bangun di tengah malam lalu bersembahyang dan membangunkan suaminya. Maka jika dia enggan, dia merenjiskan air kemukanya."
(Riwayat Abu Daud dengan Isnad yang sahih)




Renungilah FirmanNya ini, lalu kau akan tahu hakikat diriku dan dirimu dipertemukan oleh Allah atas namanya pertemuan.

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
(An Nisaa’ : 1) "

Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh kerana Allah telah melebihkan sebahagian mereka (lelaki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan kerana mereka (lelaki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka".
(An-Nissa':34)

Membenarkan seperti apa yang telah Dia katakan dalam QalamNya yang mulia. Aku meyakini bahawa engkau adalah pemimpin untukku. Jadikanlah suatu pernikahan itu sebagai asas pembangunan iman dan bukannya untuk memuaskan bisikan syaitan yang menjadikan ikatan pernikahan sebagai tunjang nafsu semata-mata. Moga diriku dan dirimu sentiasa didampingi kerahmatan dan keredhaanNya. Lakukanlah tanggungjawabmu itu dengan syura kesabaran, qanaah ketabahan moga kita akan menjadi salah satu daripada jemaah saf menuju ke syurga insyaAllah.

Aku tidak menginginkan hantaran bersusun, mas kahwin yang hanya akan menyebabkan hatiku buta dalam menilai erti kita dipertemukan oleh Allah atas dasar agama. Cukuplah seandainya, maharku sebuah Qalam Mulia, Al-Quran, dan hadis-hadis Nabawi kerana aku meyakini bahawa Qalam itu mampu memimpin rumahtanggaku dalam meraih keredhaanNya bukan kekayaan dunia yang bersifat sementara. Jua tidak ternilai harga maruah diriku untuk dibanding dengan nilai wang ringgit atau nilai duniawi. Selaras jua dengan hadis Nabi, aku mahu jadi wanita yang punya barokah.

“Seorang wanita yang penuh barakah dan mendapat anugerah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya, dan akhlaknya baik. Sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya”

Bantulah aku dalam menjayakan agama Allah, kerana ia adalah laluan untuk aku menyempurnakan separuh daripada agamaku, insyaAllah. Akhlakmu yang terdidik indah oleh ibu bapa dan orang sekelilingmu, itulah yang aku harapkan daripada kekayaan duniawi yang kau sediakan.

Tidak lagi wujud keborosan dan kebakhilan kerana semuanya berada di dalam udara Qana'ah (berpuas hati dengan apa yang ada), redha dan yakin bahawa dunia ini bukanlah negara Janatunna'im. Lihatlah rumahtangga Rasulullah s.a.w kadang-kadang berlalu sebulan demi sebulan, pernah dapurnya tidak berasap kerana tidak ada bahan makanan yang dapat dimasak. Walaupun demikian susahnya, rumahtangga Rasulullah s.a.w tetap menjadi rumahtangga yang paling bahagia yang tidak ada tolok bandingnya hingga ke hari ini.

.::. Ya Allah, gembirakan kami dengan redhaMu.::.

Pencarian Hidup

Pernah mencari cinta?

Seperti plato mencari cinta, dia bertanya pada gurunya,

"Bagaimana saya menemukan cinta?"

dijawab oleh gurunya,

"Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh berundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, ertinya kamu telah menemukan cinta."

Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun. Gurunya bertanya,

"Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?"

Plato menjawab,

"Aku hanya boleh membawa satu saja, dan saat berjalan tidak boleh berundur kembali (berpatah balik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumeneruskan berjalan lebih jauh lagi, baru kusedari bahawa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya."

Gurunya kemudian menjawab,

"Jadi ya itulah cinta" Atau mungkin seperti Arjuna yang mencari cinta? mendaki gunung tertinggi, menjelajahi isi bumi, mengarungi laut samudra. Atau seperti Ibrahim A.S yang mencari cinta? ketika malam datang terlihat bintang, "inikah yang aku cari?" Tapi ketika pagi tiba bintangpun menghilang "aku tak menyukai yang tenggelam". Begitu pun ketika melihat rembulan, melihat matahari yang lebih besar sinarnya, hingga akhirnya beliau menemukan cintanya...

Yang menciptakan bintang, rembulan, matahari dan semuanya. Bagaimana? Sudah menemukan cinta? Mudah-mudahan kita sudah menemukan sumber cinta dari segala cinta (Allah SWT), seperti nabi Allah Ibrahim A.S. kerana insyaAllah dengan begitu kita akan menemukan cinta-cinta yang lain.

Cinta kepada Rasulullah SAW yang sangat mencintaimu, kemudian cinta kepada Ibumu dan ayahmu yang dengan cinta membesarkanmu, cinta kepada suami/isterimu yang mendampingimu, kepada keluargamu, kepada tetanggamu, orang-orang yang lemah di antaramu, kerabatmu, dan seluruh mahluk-Nya....

Oktober 26, 2009

Orang Tua Kepada Anak


Luqman adalah seorang yang diberikan hikmah/kebijaksanaan oleh Allah. Satu hikmahnya adalah untuk selalu bersyukur kepada Allah:

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. [Luqman 12]

Luqman mendidik anaknya agar tidak mempersekutukan Allah. Nasehat Luqman kepada anaknya wajib ditiru oleh ummat Islam lainnya.

Jangan Mempersekutukan Allah

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kelaliman yang besar”. [Luqman 13]

Ummat Islam tidak boleh menyembah Tuhan selain Allah atau musyrik. Syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah.

Berbuat Baik Kepada Orang Tua

“Dan Kami perintahkan kepada manusia berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.“ [Luqman 14]

Ibu kita mengandung kita selama 9 bulan. Beliau juga sampai berdarah-darah dengan resiko kehilangan nyawa ketika melahirkan kita. Belum lagi mereka harus sabar merasakan rengekan dan tangisan kita bahkan mungkin pukulan kita ketika masih kecil. Mereka memberi kita makan, minum, pakaian, pendidikan, dan sebagainya. Sudah sepantasnya kita berbakti pada mereka.

Tidak Mengikuti Orang Tua dalam Kemaksiatan dan Berbuat Baik kepada Mereka

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Luqman 15]

Berbuat Baik Meski Sedikit

Lukman berkata: “Hai anakku, sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan membalasinya. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Luqman 16]

Mengerjakan Shalat, Menyuruh Kebaikan dan Melarang Kemungkaran, serta Bersabar

Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Luqman 17]

Jangan Sombong

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]

Rendah Hati dan Tidak Berkata Kasar

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” [Luqman 19]

Itulah nasihat Luqman kepada anaknya yang diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Semoga kita semua bisa mengamalkannya dan mengajarkannya kepada anak kita.
taken from: syiarislam.files.wordpress.com/2008/03

Byar Lapang Rizkina Euyyyyy....


AMALAN DAN DOA MURAH REZEKI

http://www.geocities.com/jailur_rashied/Doa_murah_rezeki.pdf

Doa Murah Rezeki

1) Membaca SURAH AL-WAQIAH

- Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ قَرأ سُورَةَ الوَاقِعَةِ فِي كُلّ لَيْلَةٍ لَمْ تُصِبْهُ فاقَة

“Sesiapa yang membaca surah al-Waqiah pada setiapa malam ia tidak akan ditimpa kefakiran.” (Riwayat daripada Ibn Mas‘ud: al-Azkar, al-Jami al-Soghir).

- Sabda Rasulullah SAW:

سُوْرَةُ الوَاقِعَةِ سُوْرَةُ الغِنَى فَاقْرَؤُوْهَا وَعَلِّمُوْهَا أَوْلاَدَكُمْ

“Surah al-Waqiah adalah surah kekayaan. Hendaklah kamu membacanya dan ajarkanlah ia kepada anak-anak kamu.” (Riwayat Ibn Mardawaih daripada Anas: Kasyf al-Khafa’).

2) Membaca SURAH AL-IKHLAS:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ، اللَّهُ الصَّمَدُ ، لَمْ يَلِـدْ وَلَمْ يُولَـدْ ، وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “(Tuhanku) ialah Allah Yang Maha Esa; “Allah Yang menjadi tumpuan sekalian makhluk untuk memohon sebarang hajat; “Ia tiada beranak, dan Ia pula tidak diperanakkan; “Dan tidak ada sesiapapun yang serupa denganNya”.”

- Sabda Rasulullah SAW: Sesiapa yang membaca Qulhuwallu ahad ketika masuk ke rumahnya, nescaya dihindarkan kefakiran daripada ahli rumahnya dan jirannya. (Daripada Jarir bin Abdullah: Kanzu al-‘Ummal, Mu‘jam al-Tabarani; daripada Ibn Mas‘ud: Mujma‘ al-Zawaid)

3)

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ ، وَتُعِزُّ مَن تَشَاء ، وَتُذِلُّ مَن تَشَاء ، بِيَدِكَ الْخَيْرُ ، إِنَّكَ عَلَىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ ، تُولِجُ اللَّيْـلَ فِي الْنَّهَارِ ، وَتُولِجُ النَّـهَارَ فِي اللَّيْلِ ، وَتُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ ، وَتُخْرِجُ الْمَيِّـتَ مِنَ الْحَيِّ ، وَتَرْزُقُ مَن تَشَاء بِغَيْرِ حِسَـابٍ ، رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا ، تُعْطِي مَنْ تَشَاءُ مِنْهُمَا وَتَمْنَعُ مَنْ تَشَاءُ ، اِرْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِيْنِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ

“Katakanlah (wahai Muhammad): “Wahai Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan! Engkaulah yang memberi kuasa pemerintahan kepada sesiapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan dari sesiapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah juga yang memuliakan sesiapa yang Engkau kehendaki, dan Engkaulah yang menghina sesiapa yang Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkaulah sahaja adanya segala kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu. “Engkaulah (wahai Tuhan) yang memasukkan waktu malam ke dalam waktu siang, dan Engkaulah yang memasukkan waktu siang ke dalam waktu malam. Engkaulah juga yang mengeluarkan sesuatu yang hidup dari benda yang mati, dan Engkaulah yang mengeluarkan benda yang mati dari sesuatu yang hidup. Engkau jualah yang memberi rezeki kepada sesiapa yang Engkau kehendaki, dengan tiada hitungan hisabnya”. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang di dunia dan akhirat. Engkau memberi kedua-duanya kepada sesiapa yang Engkau mahu. Engkau menahan kedua-duanya terhadap sesiapa yang Engkau mahu. Rahmatilah aku dengan suatu rahmat yang mencukupi untukku berbanding rahmat yang ada pada selainMu.”

- Sabda Rasulullah SAW: “Wahai Mu‘az! Aku mahu ajarkan engkau sebuah doa. Jika engkau menanggung segunung hutang lalu engkau membacanya nescaya Allah menunaikannya untuk engkau. Bacalah: قل الله مالك اللمك…. (Ayat dan doa di atas).” (Kanz al-Ummal).

4)

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

“Dan sesiapa yang bertaqwa kepada Allah (dengan mengerjakan suruhanNya dan meninggalkan laranganNya), nescaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar (dari segala perkara yang menyusahkannya), Serta memberinya rezeki dari jalan yang tidak terlintas di hatinya.”

- Sabda Rasulullah SAW:” Wahai sekalian manusia, jadikanlah taqwa sebagai suatu perniagaan, nescaya rezeki akan datang kepada kamu tanpa modal dan niaga.” Kemudian Baginda membaca ayat di atas. )Riwayat daripada Mu‘az bin Jabal: Majma‘ al-Zawaid, Kanz al-Ummal).

5)

الَّلهُمَّ اكْفِنِي بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ ، وَاغْنِنِي بِفَضلِكَ عَن سِواكَ

“Ya Allah, ya Tuhanku! Cukupkanlah aku dengan suatu yang halal berbanding suatu yang haram yang telah Engkau tetapkan. Dan berilah aku kekayaan dengan kelebihan daripada Engkau berbanding selain Engkau.”

- Saidina Ali mengatakan kepada seseorang yang datang kepadanya: “Aku mahu mengajar kamu kalimah yang diajar oleh Rasulullah kepadaku. Jika engkau menanggung segunung hutang tentu Allah akan tunaikannya. Bacalah: اللهم اكفني بحلالك… (Doa di atas).” (Riwayat daripada ‘Ali: Sunan al-Tirmizi; dinilai Hasan Gharib).

6)

الَّلهُمّ رَبَّ السَّماوَاتِ السَبْعِ ، وَرَبَّ العَرْشِ العَظِيْـمِ ، رَبَّنَا وَرَبَّ كلِّ شَيْءٍ ، وَمُنْزِلَ التَوْرَاة وَالإِنْجِيْلَ وَالقُرْآنَ ، فَالِقَ الْحَبِّ والنَّوَى ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شرِّ كُلِّ ذِي شَرٍّ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ ، أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ ، وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ ، والظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ ، وَالبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ ، اقْضِ عنِّي الدَّيْنَ وَاغْنِنِي مِنَ الفَقْرِ

“Ya Allah, Tuhan bagi tujuh lapisan langit, juga Tuhan ‘Arasy yang agung. Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu. Yang menurunkan Taurat, Injil dan Quran. Yang menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menghasilkan buah-buahan. Aku mohon berlindung denganMu daripada kejahatan segala suatu yang jahat yang ubun-ubunnya di dalam genggamanMu. Engkaulah yang awal, tiada suatu pun yang sebelum Engkau. Engkaulah yang akhir, tiada suatu pun yang selepas Engkau. Engkaulah yang zahir, tiada suatu pun yang di atas Engkau. Engkaulah yang batin, tiada suatu pun yang di bawah Engkau. Tunaikanlah hutangku dan berilah aku kekayaan daripada kefakiran.”

- Sabda Rasulullah SAW: “Bacalah: اللهم رب السماوات… (Doa di atas).” (Riwayat daripada Abu Hurairah: Sunan al-Tirmizi; dinilai Hasan Sahih).

7)

الَّلهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ البُخْلِ ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ غَلَبَةِ الدَّينِ وقَهْرِ الرِّجَالِ

“Ya Allah, aku berlindung denganMu daripada dukacita dan rasa sedih; aku berlindung denganMu daripada lemah dan malas; aku berlindung denganMu daripada sifat pengecut dan bakhil; dan aku berlindung denganMu daripada bebanan hutang dan penindasan orang.”

- Pada suatu hari Rasulullah SAW masuk ke masjid lalu terserempak seorang yang dipanggil Abu Umamah. Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Wahai Abu Umamah, aku lihat engkau duduk di masjid bukan pada waktu solat, kenapa?” Jawab Abu Umamah: “Dukacita dan hutang menyelubungiku, wahai Rasulullah!” Jawab Rasulullah: “Mahukah kamu aku ajarkan suatu bacaan jika kamu membacanya Allah akan menghilangkan rasa dukacitamu dan melangsaikan hutangmu.” Abu Umamah menjawab: “Ya, wahai Rasulullah.” Baginda bersabda: “Apabila tiba waktu pada dan petang bacalah: اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن… (Doa di atas). Kata Abu Umamah: “Aku membaca doa tersebut, lalu Allah menghilangkan rasa dukacitaku dan melangsaikan hutangku.” (Riwayat Abu Daud daripada Abu Said al-Khudri).

8)

Sabda Rasulullah SAW:

الَّلهُمَّ فَارِجَ الْهَمِّ ، كَاشِفَ الغَمِّ ، مُجِيْبَ دَعْوَةَ الْمُضْطَّرِّيْنَ ، رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا ، أَنْتَ تَرْحَمُنِي فَارْحَمْنِي بِرَحْمَةٍ تُغْنِيْنِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سَوَاكَ

“Ya Allah, Yang Meleraikan dukacita, Yang Melapangkan kekusutan, Yang Menyahut seruan orang yang susah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang di dunia dan akhirat, Engkau mengasihi aku, maka rahmatilah aku dengan suatu rahmat yang mencukupi untukku berbanding rahmat yang ada pada selainMu.”

Diriwayatkan daripada ‘Aisyah RA katanya: “Abu Bakar datang kepadaku lalu berkata: Adakah engkau telah mendengar daripada Rasulullah SAW sebuah doa Baginda ajarkan kepada. Aku bertanya: Apakah doa itu? Jawab beliau: Pada waktu dahulu, Isa Ibn Maryam mengajar sahabat-sahabat baginda: Seandainya sesiapa di kalangan kamu yang berhutang sejumlah emas satu bukit lalu ia berdoa dengan doa ini nescaya Allah tunaikan untuknya.” Kata Abu Bakar: “Aku telah berdoa dengan doa tersebut lalu Allah memberikan aku suatu ganjaran sehingga aku dapat melangsaikan hutang aku.” Kata ‘Aisyah: Aku pernah menanggung hutang lalu aku mengamalkan tersebut, tidak lama kemudian Allah memberi rezeki kepadaku sehingga aku dapat bersedekah dan mewariskan harta.” (Riwayat al-Bazzar, al-Hakim dan al-Asbahani)

9)

لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنتَ ، سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ

“Tiada Tuhan melainkan Engkau, Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah dari orang-orang yang menganiaya diri sendiri.”

Sabda Nabi SAW: “Doa saudaraku Yunus amat menakjubkan; permulaannya tahlil, pertengahannya tasbih dan penghujungnya pengakuan melakukan dosa. Sesiapa yang berdukacita, berada dalam kekusutan, ditimpa kesusahan dan dibebani hutang pada suatu hari, lalu ia membacanya sebanyak tiga kali, nescaya dimakbulkan untuknya.”

http://www.geocities.com/jailur_rashied/Murah_rezeki.htm

Ihsan:
http://jailurrashied.blogspot.com/

http://www.e-ulama.org/Artikel/Default.asp?mode=0&id=238
taken from: syiarislam.wordpress.com

Sabar dan Ikhlas


SABAR dan IKHLAS

Sabar…mungkin satu kata yang terlihat sangat sederhana…sederhana?? hmmm…mungkin jika kita membuatnya sederhana…tapi bagiku sulit untuk bisa sabar…apalagi ketika kita dihadapkan pada masalah yang benar-benar sulit…menghimpit…
aku memang belum menjadi wanita yang sabar…hanya saja aku berusaha untuk menjadi sabar…mudah-mudahan usahaku berhasil…
INNALLAHA MA’ASHABIRIIN…(Allah beserta orang-orang yang sabar)…ketika aku sulit mengendalikan emosiku…Firman Allah tersebutlah yang menjadi motivasiku untuk menjadi orang yang lebih sabar…apalagi aku ini seorang wanita…yang nantinya akan menjadi seorang ibu…

Ikhlas…bicara tentang ikhlas…terasa sangat berat maknanya…memang…tapi semua tergantung dari kita…apakah kita akan membuat kata itu menjadi sesuatu hal yang berat untuk dilakukan…ataupun sebaliknya…sekali lagi…aku belum menjadi orang yang ikhlas…tapi aku belajar untuk menjadi orang yang ikhlas…dan aku akan terus belajar…

Teringat firman Allah "Surat Al Baqarah 286", Bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatNYA..dari situlah aku terus belajar…aku mencoba untuk menjadi orang yang ikhlas, dan menyadari sepenuhnya bahwa apapun yang terjadi pada diri dan kehidupan kita adalah yang terbaik yang Allah berikan kepada kita…

SABAR dan IKHLAS…kolaborasi yang sangat sempurna..
dua kata terlihat sederhana tapi sangat bermakna..apalagi jika benar-benar dilakukan…

Sekali lagi aku hanya orang yang belajar…
dan terus belajar…dan dalam proses itu aku butuh teman yang bisa mengingatkan aku…

Ya RABB…jadikan aku temasuk orang-orang yang SABAR dan IKHLAS…dan berikan aku keteguhan hati untuk bisa menjadi orang yang SABAR dan IKHLAS..AMINNN

taken from: http://oneda.blog.friendster.com/2008/05/sabar-dan-ikhlas/

September 15, 2009

Bismillah...

Dengan mnyebut nama Allah ku awali ikhtiarku
Semoga Allah karuniakan keberkahan didalamNya...
Amin.

Agustus 22, 2009

Convert to Islam


By: IslamReligion.com

The word “Muslim” means one who submits to the will of God, regardless of their race, nationality or ethnic background. Becoming a Muslim is a simple and easy process that requires no pre-requisites. One may convert alone in privacy, or he/she may do so in the presence of others.

If anyone has a real desire to be a Muslim and has full conviction and strong belief that Islam is the true religion of God, then, all one needs to do is pronounce the “Shahada”, the testimony of faith, without further delay. The “Shahada” is the first and most important of the five pillars of Islam.

With the pronunciation of this testimony, or “Shahada”, with sincere belief and conviction, one enters the fold of Islam.

Upon entering the fold of Islam purely for the Pleasure of God, all of one’s previous sins are forgiven, and one starts a new life of piety and righteousness. The Prophet said to a person who had placed the condition upon the Prophet in accepting Islam that God would forgive his sins:

“Do you not know that accepting Islam destroys all sins which come before it?” (Saheeh Muslim)

When one accepts Islam, they in essence repent from the ways and beliefs of their previous life. One need not be overburdened by sins committed before their acceptance. The person’s record is clean, and it is as if he was just born from his mother’s womb. One should try as much as possible to keep his records clean and strive to do as many good deeds as possible.

The Holy Quran and Hadeeth (prophetic sayings) both stress the importance of following Islam. God states:

“...The only religion in the sight of God is Islam...” (Quran 3:19)

In another verse of the Holy Quran, God states:

“If anyone desires a religion other than Islam, never will it be accepted of him; and in the Hereafter, he will be in the ranks of those who have lost (their selves in the Hellfire).” (Quran 3:85)

In another saying, Muhammad, the Prophet of God, said:

“Whoever testifies that there in none worthy of being worshipped but God, Who has no partner, and that Muhammad is His slave and Prophet, and that Jesus is the Slave of God, His Prophet, and His word[1] which He bestowed in Mary and a spirit created from Him; and that Paradise (Heaven) is true, and that the Hellfire is true, God will eventually admit him into Paradise, according to his deeds.” (Saheeh Al-Bukhari)

The Prophet of God, may the blessing and mercy of God be upon him, also reported:

“Indeed God has forbidden to reside eternally in Hell the person who says: “I testify that none has the right to worship except Allah (God),’ seeking thereby the Face of God.” (Saheeh Al-Bukhari)

The Declaration of the Testimony (Shahada)

To convert to Islam and become a Muslim a person needs to pronounce the below testimony with conviction and understanding its meaning:

I testify “La ilah illa Allah, Muhammad rasoolu Allah.”

The translation of which is:

“I testify that there is no true god (deity) but God (Allah), and that Muhammad is a Messenger (Prophet) of God.”

To hear it click here or click on “Live Help” above for assistance by chat.

When someone pronounces the testimony with conviction, then he/she has become a Muslim. It can be done alone, but it is much better to be done with an adviser through the “Live Help” at top, so we may help you in pronouncing it right and to provide you with important resources for new Muslims.

The first part of the testimony consists of the most important truth that God revealed to mankind: that there is nothing divine or worthy of being worshipped except for Almighty God. God states in the Holy Quran:

“We did not send the Messenger before you without revealing to him: ‘none has the right to be worshipped except I, therefore worship Me.’” (Quran 21:25)

This conveys that all forms of worship, whether it be praying, fasting, invoking, seeking refuge in, and offering an animal as sacrifice, must be directed to God and to God alone. Directing any form of worship to other than God (whether it be an angel, a messenger, Jesus, Muhammad, a saint, an idol, the sun, the moon, a tree) is seen as a contradiction to the fundamental message of Islam, and it is an unforgivable sin unless it is repented from before one dies. All forms of worship must be directed to God only.

Worship means the performance of deeds and sayings that please God, things which He commanded or encouraged to be performed, either by direct textual proof or by analogy. Thus, worship is not restricted to the implementation of the five pillars of Islam, but also includes every aspect of life. Providing food for one’s family, and saying something pleasant to cheer a person up are also considered acts of worship, if such is done with the intention of pleasing God. This means that, to be accepted, all acts of worship must be carried out sincerely for the Sake of God alone.

The second part of the testimony means that Prophet Muhammad is the servant and chosen messenger of God. This implies that one obeys and follows the commands of the Prophet. One must believe in what he has said, practice his teachings and avoid what he has forbidden. One must therefore worship God only according to his teaching alone, for all the teachings of the Prophet were in fact revelations and inspirations conveyed to him by God.

One must try to mold their lives and character and emulate the Prophet, as he was a living example for humans to follow. God says:

“And indeed you are upon a high standard of moral character.” (Quran 68:4)

God also said:

“And in deed you have a good and upright example in the Messenger of God, for those who hope in the meeting of God and the Hereafter, and mentions God much.” (Quran 33:21)

He was sent in order to practically implement the Quran, in his saying, deeds, legislation as well as all other facets of life. Aisha, the wife of the Prophet, when asked about the character of the Prophet, replied:

“His character was that of the Quran.” (As-Suyooti)

To truly adhere to the second part of the Shahada is to follow his example in all walks of life. God says:

“Say (O Muhammad to mankind): ‘If you (really) love God, then follow me.’” (Quran 3:31)

It also means that Muhammad is the Final Prophet and Messenger of God, and that no (true) Prophet can come after him.

“Muhammad is not the father of any man among you but he is the Messenger of God and the last (end) of the Prophets and God is Ever All-Aware of everything.” (Quran 33:40)

All who claim to be prophets or receive revelation after Muhammad are imposters, and to acknowledge them would be tantamount to disbelief.

We welcome you to Islam, congratulate you for your decision, and will try to help you in any way we can.


Footnotes:

[1] God created him through His statement, “Be!”

Bagaimana jihadnya para 'Bomber'?

By Archa

Boleh dikatakan hampir semua Muslim mengetahui tentang perang Uhud, salah satu perang yang dilakukan oleh Rasulullah dan pengikutnya setelah kemenangan gemilang perang sebelumnya, perang Badar. Pada awalnya, dengan strategi yang jitu menempatkan para pemanah di suatu bukit sehingga kelebihan jumlah pasukan musuh menjadi tidak berguna akibat bertempur pada front yang terbatas, membuat musuh mati kutu dan mengalami kekalahan.

anda bisa membacanya disini :

http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Uhud

Namun kemenangan yang diperoleh pasukan Muslim hanyalah sementara karena para pemanah yang ditempatkan di bukit tidak mampu menahan dorongan hawa nafsunya untuk ikut merebut pampasan perang yang ditingggalkan musuh, mereka lalu meninggalkan posisi dan membuat area pertempuran kembali terbuka. Kita juga mengetahui kisah selanjutnya, ketika pasukan Quraisyi berbalik melewati jalur yang terbuka tersebut, menyerang pasukan Muslim yang sibuk memungut harta pampasan perang. Tercatat 70 tentara Muslim tewas dalam pertempuran, tentunya termasuk para pemanah yang telah meninggalkan pos mereka.

Pertanyaan muncul :”Apakah para pemanah yang telah lalai dan melanggar perintah Rasulullah tersebut bisa dikatakan mati syahid..?”. Boleh jadi ketika mereka berangkat dari Madinah dihati mereka tertanam kerelaan dan keikhlasan untuk berjuang dijalan Allah, sekalipun dengan resiko harus tewas di medan pertempuran. Semangat dan niat tersebut tentu masih ada ketika mereka menempatkan posisi sebagai pemanah. Namun kita bisa menduga bahwa ketika mereka meninggalkan pos mereka untuk ikut ‘cawe-cawe’ memungut harta pampasan perang, mungkin ada niat yang berubah dalam hati, dan pada saat itulah mereka kemudian ikut tewas dalam pertempuran. Lalu apakah kemudian Rasulullah memberikan statement bahwa mereka tidak mati syahid..?? bahwa mereka telah melakukan ‘jihad yang salah’..??, tidak ada catatan adanya pernyataan Rasulullah tersebut, yang ada justru hadist yang mengatakan Rasulullah memperlakukan jenazah mereka sebagai orang-orang yang mati syahid :

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. : bahwa Nabi Muhammad Saw mengumpulkan setiap dua orang yang mati syahid dalam perang Uhud di dalam selembar kain, kemudian bertanya, “siapa di antara mereka yang lebih mengetahui tentang Al Quran?” ketika salah seorang dari mereka ditunjukkan, Nabi Muhammad Saw memasukkan orang itu terlebih dahulu ke dalam kubur dan berkata, “aku akan bersaksi untuk mereka di hari kiamat”. Nabi Muhammad Saw memerintahkan untuk mengubur mereka tanpa membersihkan darah mereka lebih dahulu dan Nabi Muhammad Saw tidak memandikan maupun menshalatkan mereka.

Secara ‘kasat mata’ kita tentu bisa memberikan penilaian bahwa tindakan para pemanah yang meninggalkan pos mereka tersebut merupakan suatu kesalahan. Dari kisah tersebut kita bisa mencatat bahwa Rasulullah sendiri tidak menghakimi, apakah seseorang melakukan jihad atau tidak, apalagi memberikan penilaian tentang ‘jihad yang benar atau yang salah’. Kalaulah waktu itu Rasulullah memberikan penilaian soal jihad atau tidak, maka tentu akan ada suatu riwayat yang menceritakan prosesi pemakaman yang berbeda, minimal Rasulullah akan membagi dua model pemakanan, yang satu untuk para sahabat bukan pemanah yang syahid, dan yang satu lagi proses penguburan ‘model biasa’ untuk jenazah para pemanah karena dinilai tidak mati syahid. Jadi apa yang dilakukan Rasulullah terbatas kepada penilaian bahwa semua yang tewas dalam pertempuran tercakup kedalam suatu rombongan yang berangkat dari Madinah, dibawah komando Rasulullah dan berperang untuk membela agama Allah. Sebagai seorang manusia, Rasulullah hanya bisa menilai perbuatan orang dari BENTUKnya saja. Lalu apakah mereka dikatakan mati syahid dan masuk surga atau tidak..?? siapa yang tahu..??

Kata ‘jihad’ banyak terulang dalam Al-Qur’an mengesankan tentang adanya “perjuangan secara sungguh- sungguh mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan”, dan kalau didalami lebih lanjut, kata ini terkait dengan adanya pengorbanan atas suatu usaha yang kita lakukan.

[4:95] Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa perbedaan antara orang yang berjihad dan yang tidak berjihad terletak kepada ‘pengorbanan’ harta dan nyawa.

Biasanya, kata ‘jihad’ selalu disandingkan dengan ‘fii sabilillaah’ = di jalan Allah, menunjukkan bahwa ‘jihad’ tersebut sebenarnya adalah suatu yang netral. Salah atau benarnya suatu perbuatan tidak terkait dengan adanya ‘jihad’ atau tidak, tapi dinilai berdasarkan bentuk perbuatannya, dan penghakiman manusia terhadap bentuk perbuatan juga tidak berbanding lurus dengan nilai perbuatan tersebut adalah jihad atau tidak, keduanya merupakan hal yang sama sekali tidak berkaitan. Anda mengatakan perbuatan seseorang ‘tidak fii sabilillaah’, namun penilaian tersebut tidak menjelaskan apakah orang tersebut telah berjihad atau tidak, sebaliknya ketika anda mengatakan perbuatannya ‘fii sabilillaah’, anda juga tidak bisa memastikan apakah orang tersebut memang sedang berjihad sehingga ketika dia mati, anda bisa pastikan akan masuk surga.

Kata ‘jihad’ juga sering dikaitkan dengan perbuatan berperang, sekalipun dalam terminologi Islam, jihad tidak hanya terkait dengan hal tersebut. Ini disebabkan karena perang adalah satu bentuk perbuatan yang ‘sangat nyata’ dalam memberikan pengorbanan harta dan nyawa. Saya menulis di forum ini dengan niat berjihad di jalan Allah, namun pengorbanan yang saya berikan mungkin hanya terbatas kepada pengorbanan waktu dan duit buat bayar koneksi internet, bahkan hal tersebut sering ‘tidak terasa’ karena kebetulan saya memang lagi menganggur. Lain hal ketika saya ingin berjihad dengan mengasah pedang, hendak maju ke medan pertempuran melawan musuh yang ingin membunuh saya, maka pengorbanan yang akan saya berikan akan saya rasa sangat besar. Al-Qur’an banyak mengkaitkan kata ‘jihad’ dengan ‘perang’ karena bentuk perbuatan tersebutlah yang ‘paling ekstrim’ untuk menjelaskan soal pengorbanan.

Dalam Al-Qur’an kata ‘jihad’ ini tidak hanya disandingkan dengan suatu perbuatan di jalan Allah saja, tapi juga terkait dengan tindakan yang menyimpang dari jalan Allah, misalnya pada QS 29:8 dan QS 31:15,

wawashshaynaa al-insaana biwaalidayhi husnan wa-in jaahadaaka litusyrika
[29:8] Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu ,= berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempersekutukan Aku..

wa-in jaahadaaka ‘alaa an tusyrika bii maa laysa laka bihi ‘ilmun
[31:15] Dan jika keduanya memaksamu = berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,..

Setelah menempatkan istilah ‘jihad’ pada posisinya yang benar, maka kita bisa melanjutkan dengan mengkaitkannya dengan contoh-contoh perbuatan yang kita temukan di jaman sekarang ini. Pertanyaannya adalah : Bagaimana menilai suatu perbuatan sekelompok orang yang melakukan bom bunuh diri di tempat umum, seperti restoran, hotel, di jalanan, dll dengan tujuan ‘berjihad’ di jalan Allah..?? apakah mereka benar mati syahid atau tidak..??

Petama, ijinkanlah saya mengatakan bahwa atribut ‘jihad’ yang disematkan terhadap perbuatan orang-orang tersebut adalah datang dari mereka sendiri, dan keyakinan akan masuk surga karena tewas bersama bom yang mereka ledakkan di tempat umum juga datang dari mereka sendiri. Tentu saja kita tidak bisa memastikan apakah mereka memang masuk surga atau tidak, tidak ada seorangpun yang bisa memastikan :”Ooo..dia nggak bakalan masuk surga…”, atau sebaliknya :”Sudah pasti laah..bakal masuk surga..”, bahkan ketika hal tersebut datang dari ‘atasan’ mereka sendiri, yang telah melakukan ‘indoktrinasi’ sehingga mereka memiliki keyakinan yang kuat akan masuk surga.

Penilaian yang bisa kita lakukan hanyalah menentukan benar atau salah BENTUK perbuatan mereka, apakah merupakan perbuatan ‘fii sabilillaah’ atau sebaliknya ‘bukan fii sabilillaah’. Sebuah bom yang sengaja diledakkan di tempat umum, pasti punya sasaran untuk mematikan semua orang yang kebetulan berada disana, tidak peduli siapa orangnya, apakah muslim atau bukan, kalau bukan Muslim, apakah memusuhi Islam atau tidak. Maka ketika bom tersebut menewaskan sesama saudara Muslim, kita bisa mengkategorikannya merupakan ‘pembunuhan yang disengaja’ oleh seorang Muslim terhadap Muslim yang lain, dalam hal ini berlaku aturan Al-Qur’an :

[4:93] Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.

Apakah masih perlu kita memelintir pengertian ayat ini..?? semuanya tertulis dengan jelas. Bahkan Al-Qur’an juga memberikan gambaran bahwa membunuh siapapun dengan alasan yang tidak jelas adalah suatu kedzaliman :

[5:32] Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya412. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
412: Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.

Ketika bom JW Marriott dan Ritz Carlton, menewaskan beberapa orang non-Muslim (berdasarkan asumsi bahwa si pelaku memang sekelompok orang yang sedang memperjuangkan/membela Islam) , kita seharusnya bertanya kepada mereka sebelumnya :’Apakah anda memusuhi Islam..?? apakah anda melakukan tindakan-tindakan yang menyerang Islam..??”, bahkan pertanyaan ini terasa sangat sumir kalau kita tujukan kepada saudara-saudara kita yang Muslim, yang juga tewas dalam pengeboman tersebut.

Marilah kita berandai-andai, katakanlah saat ini Indonesia memberlakukan syari’at Islam dengan Amirul Mukminin yang terpercaya seperti para Khulafah Rasyidin, apakah yang akan diputuskan terhadap pelaku pembunuhan ini..?? menurut saya, mereka tentu akan memberlakukan hukum Islam juga :

[2:178] Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

Apakah mungkin seorang Khalifah yang berusaha menegakkan syari’at Islam akan memberikan ‘dispensasi’ terhadap peledakan bom yang dilakukan di tempat umum dan bertujuan untuk membunuh siapapun yang ada disitu, hanya karena pelakunya menyatakan perbuatan mereka adalah ‘jihad fi sabililaah’..?? tentu saja hukum Islam tidak akan mempedulikan pengakuan mereka soal jihad, berjihad atau tidak itu urusan mereka dengan Allah, hukum Islam akan dijatuhkan berdasarkan penilaian apakah perbuatan mereka merupakan ‘fii sabilillah’ atau bukan. Al-Qur’an menyatakan dengan jelas dilarang membunuh manusia tanpa alasan, dilarang membunuh sesama Muslim dengan sengaja, sedangkan BENTUK perbuatan yang ada : membunuh dengan sengaja dan tanpa alasan yang terkait dengan si korban, maka itu jelas bukan fii sabililaah.

Berikut ini saya ingin menyampaikan pikiran saya terkait dengan penyebab adanya se kelompok Muslim yang melakukan peledakan bom di tempat umum sebagai salah satu bentuk perjuangan mereka menegakkan ajaran Allah..

Terlihat adanya kesan ‘keputus-asaan’ terhadap pertolongan Allah dalam melakukan perjuangan. Saat ini dunia Islam memang menghadapi lawan yang ‘tidak berbentuk’, penyerangan terhadap Islam sering ‘dibungkus’ jargon-jargon yang sebaliknya : damai, kasih, hak azazi, demokrasi, kebebasan berpendapat dan disisi lain terlihat perbuatan mereka sedikit demi sedikit telah merusak tatanan masyarakat, sehingga makin jauh dari nilai-nilai Islam. Disamping kekuatan, teknologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki pihak musuh dinilai sangat besar untuk dilawan secara ‘berhadap-hadapan’. Saya sudah menjelaskannya dalam tulisan sebelumnya :

http://forum-swaramuslim.net/more.php?id=4263_0_15_0_M

Kondisi ini kelihatannya membuat sebagian Muslim merasa terpojok dan mencari segala cara untuk mengadakan perlawanan. Akibat musuh yang tidak jelas, maka segala sesuatu yang ‘berbau musuh’ akan dihabisi. Padahal Al-Qur’an menasehatkan bahwa bagaimanapun hebatnya tipu-daya musuh-musuh Islam, Allah tidak akan membiarkan mereka meraja-lela :

[3:120] Jika kamu memperoleh kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana, mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.

[4:76] Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.

[8:18] Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir.

[8:30] Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.

[9:48] Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.

[13:42] Dan sungguh orang-orang kafir yang sebelum mereka (kafir Mekah) telah mengadakan tipu daya, tetapi semua tipu daya itu adalah dalam kekuasaan Allah. Dia mengetahui apa yang diusahakan oleh setiap diri, dan orang-orang kafir akan mengetahui untuk siapa tempat kesudahan (yang baik) itu.

[27:70] Dan janganlah kamu berduka cita terhadap mereka, dan janganlah (dadamu) merasa sempit terhadap apa yang mereka tipudayakan”.

Serangan musuh yang licik dan pengecut seharusnya tetap harus dilawan dengan cara yang hati-hati dan mempetimbangakan SEMUA aturan Allah, baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadist, bukan hanya mengambil dasar sebagian-sebagian saja. Mungkin kelihatannya kita telah berperang dengan cara yang dinilai ‘terlalu naif’ berdasarkan pandangan manusia, namun belum tentu ‘naif’ dalam pandangan Allah. Musuh-musuh Islam punya sumber daya yang luar biasa, namun Allah sudah menjanjikan hal tersebut tidak akan berarti untuk menghancurkan Islam. Allah sudah menjanjikannya dalam Al-Qur’an, tergantung tingkat keyakinan kita sehingga kita tetap bisa istiqomah/konsisten dalam melakukan bentuk perjuangan yang benar-benar mempertimbangan semua aturan Allah tersebut.

Pertanyaa sering muncul, baik dari umat Islam maupun pihak non-Muslim :”Apakah si pelaku pengeboman bisa dikatakan telah berjihad atau tidak..??”, atau pertanyaan yang lebih konyol :”Apakah yang dilakukan merupakan jihad yang benar atau jihad yang salah..??”. lalu pihak Islam terbawa untuk menjawab pertanyaan tersebut ‘menari dalam irama gendang yang dilakukan orang’, ada yang bilang itu jihad dan ada juga yang mengatakan itu bukan jihad, bahkan sebagian ulama perlu repot-repot mengeluarkan fakwa untuk itu, seolah-olah yang menjawab mengerti betul bagaimana nasib si pelaku pengeboman setelah mereka tewas. Umat Islam seharusnya tidak perlu menggubris soal ini, karena sebaiknya semua energi kita perlu kita pakai untuk menyadarkan umat, memberikan pengertian tentang mana suatu perbuatan dikategorikan sebagai ‘fii sabilillah’ dan mana yang bukan..

sumber : forum-swaramuslim.net by answering.wordpress.com

Agustus 21, 2009

Keagungan Puasa Ramadhan


[1] KEDUDUKAN SHAUM RAMADHAN

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…”

Kewajiban Bagi Kaum yang Beriman

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183)

Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380)

Ketika menjelaskan ayat di atas beliau mengatakan, “Allah mengarahkan pembicaraannya (di dalam ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab puasa Ramadhan merupakan bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan menjalankan puasa Ramadhan akan bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia kafir atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini tidak kafir. Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan salah satu rukun Islam selain dua kalimat syahadat dan shalat.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 3/380-381)

Menunaikan kewajiban merupakan ibadah yang sangat utama, karena kewajiban merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda membawakan firman Allah ta’ala (dalam hadits qudsi),

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR. Bukhari [6502] dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

An-Nawawi mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban lebih utama daripada mengerjakan amalan yang sunnah.” (Syarh Arba’in li An-Nawawi yang dicetak dalam Ad-Durrah As-Salafiyah, hal. 265)

Syaikh As-Sa’di juga mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat pokok yang sangat agung yaitu kewajiban harus didahulukan sebelum perkara-perkara yang sunnah. Dan ia juga menunjukkan bahwa amal yang wajib itu lebih dicintai Allah dan lebih banyak pahalanya.” (Bahjat Al-Qulub Al-Abrar, hal. 116)

Al-Hafizh mengatakan, “Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasanya menunaikan kewajiban-kewajiban merupakan amal yang paling dicintai oleh Allah.” (Fath Al-Bari, 11/388)

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili hafizhahullah mengatakan, “Amal-amal wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan pula oleh para ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan hadits di atas. Setelah itu beliau mengatakan, “Maka hadits ini memberikan penunjukan yang sangat gamblang bahwa amal-amal wajib lebih mulia dan lebih dicintai Allah daripada amal-amal sunnah.” Kemudian beliau menukil ucapan Al-Hafizh Ibnu Hajar di atas (lihat Tajrid Al-Ittiba’ fi Bayan Tafadhul Al-A’maal, hal. 34)

[2] KEUTAMAAN SHAUM

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi…”

Menghapuskan Dosa-Dosa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari [38, 1901, 2014] dan Muslim [760] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Yang dimaksud dengan iman di sini adalah meyakini wajibnya puasa yang dia lakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan mengharapkan pahala/ihtisab adalah keinginan mendapatkan balasan pahala dari Allah ta’ala (Fath Al-Bari, 4/136)

An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang populer di kalangan para ulama ahli fikih menyatakan bahwa dosa-dosa yang terampuni dengan melakukan puasa Ramadhan itu adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar (lihat Al-Minhaj, 4/76). Hal itu sebagaimana tercantum dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

“Shalat lima waktu. Ibadah Jum’at yang satu dengan ibadah jum’at berikutnya. Puasa Ramadhan yang satu dengan puasa Ramadhan berikutnya. Itu semua merupakan penghapus dosa antara keduanya, selama dosa-dosa besar dijauhi.” (HR. Muslim [233])

Di dalam kitab Shahihnya, Bukhari membuat sebuah bab yang berjudul ‘Shalat lima waktu sebagai penghapus dosa’ kemudian beliau menyebutkan hadits yang senada, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Nabi bersabda,

أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

“Bagaimana menurut kalian kalau seandainya ada sebuah sungai di depan pintu rumah kalian dan dia mandi di sana sehari lima kali. Apakah masih ada sisa kotoran yang ditinggalkan olehnya?” Para sahabat menjawab, “Tentu saja tidak ada lagi kotoran yang masih ditingalkan olehnya.” Maka beliau bersabda, “Demikian itulah perumpamaan shalat lima waktu dapat menghapuskan dosa-dosa.” (HR. Bukhari [528] dan Muslim [667])

Ibnu Hajar mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini lebih luas daripada dosa kecil maupun dosa besar. Akan tetapi Ibnu Baththal mengatakan, ‘Dari hadits ini diambil kesimpulan bahwa yang dimaksudkan adalah khusus dosa-dosa kecil saja, sebab Nabi menyerupakan dosa itu dengan kotoran yang menempel di tubuh. Sedangkan kotoran yang menempel di tubuh jelas lebih kecil ukurannya dibandingkan dengan bekas luka ataupun kotoran-kotoran manusia.’”

Meskipun demikian, Ibnu Hajar membantah ucapan Ibnu Baththal ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits bukanlah kotoran ringan yang sekedar menempel di badan, namun yang dimaksudkan adalah kotoran berat yang benar-benar sudah melekat di badan. Penafsiran ini didukung oleh bunyi riwayat lainnya yang dibawakan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dengan sanad la ba’sa bihi yang secara tegas menyebutkan hal itu.

Oleh sebab itulah Al-Qurthubi mengatakan, “Zahir hadits ini menunjukkan bahwa melakukan shalat lima waktu itulah yang menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa, akan tetapi makna ini janggal. Namun terdapat hadits lain yang diriwayatkan sebelumnya oleh Muslim dari penuturan Al-Alla’ dari Abu Hurairah secara marfu’ Nabi bersabda, ‘Shalat yang lima waktu adalah penghapus dosa di antara shalat-shalat tersebut selama dosa-dosa besar dijauhi.’ Berdasarkan dalil yang muqayyad (khusus) ini maka hadits lain yang muthlaq (umum) harus diartikan kepada makna ini.” (lihat Fath Al-Bari, 2/15)

Hadits-hadits yang menyebutkan tentang penghapusan dosa karena amal kebaikan di atas sesuai dengan kandungan firman Allah ta’ala,

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

“Sesungguhnya amal-amal kebaikan itu akan menghapuskan dosa-dosa.” (Qs. Huud [11]: 114)

Ibnu Katsir mengatakan, “Allah menyatakan bahwa mengerjakan amal-amal kebaikan akan dapat menghapuskan dosa-dosa di masa silam…” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 4/247). Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa-dosa di dalam ayat di atas adalah dosa-dosa kecil (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 391)

Sebagaimana Allah juga menjadikan tindakan menjauhi dosa-dosa besar sebagai sebab dihapuskannya dosa-dosa kecil. Allah berfirman,

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang kepada kalian niscaya Kami akan menghapuskan dosa-dosa kecil kalian dan Kami akan memasukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga).” (Qs. An-Nisaa’ [4]: 31)

Syaikh As-Sa’di menjelaskan bahwa definisi yang paling tepat untuk dosa besar adalah segala bentuk pelanggaran yang diberi ancaman hukuman khusus (hadd) di dunia atau ancaman hukuman tertentu di akhirat atau ditiadakan status keimanannya atau timbulnya laknat karenanya atau Allah murka kepadanya (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176).

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan ucapan Ibnu Abbas mengenai firman Allah di atas. Ibnu Abbas mengatakan, “Dosa besar adalah segala bentuk dosa yang berujung dengan ancaman neraka, kemurkaan, laknat, atau adzab.” (HR. Ibnu Jarir, disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, 2/202)

Ibnu Abi Hatim menuturkan: Abu Zur’ah menuturkan kepada kami: Utsman bin Syaibah menuturkan kepada kami: Jarir menuturkan kepada kami riwayat dari Mughirah. Dia (Mughirah) mengatakan, “Tindakan mencela Abu Bakar dan Umar radhiyallahu’anhuma juga termasuk dosa besar.” Ibnu Katsir mengatakan, “Sekelompok ulama bahkan berpendapat kafirnya orang yang mencela Sahabat, ini merupakan pendapat yang diriwayatkan dari Malik bin Anas rahimahullah.” Muhammad bin Sirin mengatakan, “Aku tidaklah mengira bahwa ada seorang pun yang menjatuhkan nama Abu Bakar dan Umar sementara dia adalah orang yang mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi). (lihat keterangan ini dalam Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2/203)

Qatadah mengatakan tentang makna ayat di atas, “Allah hanya menjanjikan ampunan bagi orang yang menjauhi dosa-dosa besar.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 2/203)

Termasuk bagian dari menjauhi dosa besar ialah dengan senantiasa menunaikan kewajiban yang apabila ditinggalkan maka pelakunya terjerumus dalam dosa besar seperti halnya meninggalkan shalat, meninggalkan shalat Jum’at, atau meninggalkan puasa Ramadhan (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 176)

Memasukkan ke Dalam Surga

Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu’anhu menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan rambutnya acak-acakan. Dia mengatakan,

“Wahai Rasulullah. Beritahukan kepadaku tentang shalat yang Allah wajibkan untuk kukerjakan?”

Beliau menjawab,
“Shalat lima waktu, kecuali kalau kamu mau menambahnya dengan shalat sunnah.”

Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku puasa yang Allah wajibkan untukku?”

Beliau menjawab,
“Puasa di bulan Ramadhan, kecuali kalau kamu mau menambah dengan puasa sunnah.”

Lalu dia berkata,
“Beritahukan kepadaku zakat yang Allah wajibkan untukku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitahukan kepadanya syari’at-syari’at Islam. Orang itu lalu mengatakan, “Demi Dzat yang telah memuliakan anda dengan kebenaran. Aku tidak akan menambah sama sekali, dan aku juga tidak akan menguranginya barang sedikitpun dari kewajiban yang Allah bebankan kepadaku.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Dia beruntung jika dia memang jujur.”

Atau beliau mengatakan,
“Dia akan masuk surga jika dia benar-benar jujur/konsekuen dengan ucapannya itu.” (HR. Bukhari [46, 1891, 2678, dan 9656] dan Muslim [11]).

Membentengi Pelakunya Dari Perbuatan Buruk

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

“Puasa adalah perisai, maka janganlah dia berkata kotor dan bertindak dungu. Kalau pun ada orang yang mencela atau mencaci maki dirinya hendaknya dia katakan kepadanya, “Aku sedang puasa.” Dua kali. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada harumnya minyak kasturi. (Allah berfirman) ‘Dia rela meninggalkan makanannya, minumannya, dan keinginan nafsunya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.’ Setiap kebaikan itu pasti dilipatgandakan sepuluh kalinya.” (HR. Bukhari [1894] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Yang dimaksud dengan kata-kata kotor (rofats) di dalam hadits ini adalah ucapan yang keji. Kata rofats juga terkadang dimaksudkan untuk menyebut jima’ beserta pengantar-pengantarnya. Atau bisa juga maknanya lebih luas daripada itu semua (Fath Al-Bari, 4/123)

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ini bukan berarti di selain waktu puasa orang boleh mengucapkan kata-kata kotor. Hanya saja ketika sedang berpuasa maka larangan terhadap hal itu semakin keras dan semakin tegas (Fath Al-Bari, 4/124)

Kata rofats dengan makna jima’ bisa dilihat dalam ayat,

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ

“Dihalalkan untuk kalian pada malam (bulan) puasa melakukan rafats (jima’) kepada isteri-isteri kalian.” (Qs. Al-Baqarah [2] : 187)

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa kata rofats di dalam ayat ini maksudnya adalah jima’. Inilah tafsiran Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Thawus, Salim bin Abdullah, Amr bin Dinar, Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Adh-Dhahhaak, Ibrahim An-Nakha’i, As-Suddi, Atha’ Al-Khurasani, dan Muqatil bin Hayan (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1/286)

Dan yang dimaksud dengan bau mulut -orang yang puasa- tersebut adalah bau mulut yang timbul akibat berpuasa, bukan karena sebab yang lain (Fath Al-Bari, 4/125).

Sedangkan yang dimaksud dengan ‘keinginan nafsunya’ di dalam hadits ini adalah hasrat untuk berjima’, sebab penyebutannya digandengkan dengan makan dan minum (Fath Al-Bari, 4/126)

Sebuah Pintu Khusus di Surga

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ

“Sesungguhnya di dalam Surga terdapat sebuah pintu yang disebut Ar-Royyan. Orang-orang yang rajin berpuasa akan masuk Surga melewatinya pada hari kiamat nanti. Tidak ada orang yang memasukinya selain mereka. Diserukan kepada mereka, ‘Manakah orang-orang yang rajin berpuasa?’ Maka merekapun bangkit. Tidak ada yang masuk melewati pintu itu selain golongan mereka. Dan kalau mereka semua sudah masuk maka pintu itu dikunci sehingga tidak ada lagi seorangpun yang bisa melaluinya…” (HR. Bukhari [1896] dari Sahl radhiyallahu’anhu)

Yang dimaksud dalam hadits dengan orang yang rajin puasa bukanlah orang yang hanya mengerjakan puasa dan tidak mengerjakan shalat, sebab orang seperti ini tidak akan masuk surga akibat kekafirannya (meninggalkan shalat, pen). Akan tetapi yang dimaksud adalah kaum muslimin yang banyak-banyak berpuasa maka dia akan dipanggil agar melalui pintu tersebut. Sehingga setiap penghuni surga akan memasuki surga melalui pintu-pintunya yang berjumlah delapan (lihat Syarh Riyadhush Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 3/388-389)

Masing-masing pintu di surga memiliki kekhususan. Hal itu sebagaimana dikabarkan oleh Nabi dalam haditsnya,

مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُم

“Barangsiapa yang berinfak dengan sepasang hartanya di jalan Allah maka ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, ‘Hai hamba Allah, inilah kebaikan.’ Maka orang yang termasuk golongan ahli shalat maka ia akan dipanggil dari pintu shalat. Orang yang termasuk golongan ahli jihad akan dipanggil dari pintu jihad. Orang yang termasuk golongan ahli puasa akan dipanggil dari pintu Ar-Royyan. Dan orang yang termasuk golongan ahli sedekah akan dipanggil dari pintu sedekah.”

Ketika mendengar hadits ini Abu Bakar pun bertanya, “Ayah dan ibuku sebagai penebus anda wahai Rasulullah. Apa lagi yang akan dicari oleh orang yang dipanggil dari pintu-pintu itu, mungkinkah ada orang yang dipanggil dari semua pintu tersebut?” Maka beliau pun menjawab, “Iya ada. Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka.” (HR. Bukhari [1897 dan 3666] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Al-Qadhi menukil ucapan Al-Harawi ketika menerangkan makna ’sepasang hartanya’: Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ’sepasang harta’ adalah dua ekor kuda, dua orang budak, atau dua ekor onta (Al-Minhaj oleh An-Nawawi, 4/351). Sedangkan yang dimaksud dengan berinfak di jalan Allah dalam hadits ini mencakup berinfak untuk segala bentuk amal kebaikan, bukan khusus untuk jihad saja (Al-Minhaj, 4/352).

Hadits ini juga menunjukkan bahwa setiap orang yang beramal akan dipanggil dari pintunya masing-masing. Hal ini didukung dengan hadits dari jalur lain juga dari Abu Hurairah yang mengungkapkannya secara tegas, Nabi bersabda,

لِكُلِّ عَامِل بَاب مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة يُدْعَى مِنْهُ بِذَلِكَ الْعَمَل

“Bagi setiap orang yang beramal terdapat sebuah pintu khusus di surga yang dia akan dipanggil melalui pintu tersebut karena amal yang telah dilakukannya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad sahih, demikian kata Al-Hafizh dalam Fath Al-Bari, 7/30)

Hadits ini juga menunjukkan betapa mulia kedudukan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Sebab Nabi mengatakan di akhir hadits ini, “Dan aku berharap kamu termasuk golongan mereka -yaitu orang yang dipanggil dari semua pintu surga-.” Para ulama mengatakan bahwa harapan dari Allah atau Nabi-Nya pasti terjadi. Dengan pernyataan ini maka hadits di atas termasuk kategori hadits yang menunjukkan keutamaan Abu Bakar radhiyallahu’anhu. Hadits ini juga menunjukkan bahwa betapa sedikit orang yang bisa mengumpulkan berbagai amal kebaikan di dalam dirinya (Fath Al-Bari, 7/31).

Abu Bakar adalah orang yang memiliki berbagai bentuk amal shalih dan ketaatan. Hal itu terbukti sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ صَائِمًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ تَبِعَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ جَنَازَةً قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ أَطْعَمَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مِسْكِينًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا قَالَ فَمَنْ عَادَ مِنْكُمْ الْيَوْمَ مَرِيضًا قَالَ أَبُو بَكْرٍ أَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا اجْتَمَعْنَ فِي امْرِئٍ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya (kepada para sahabat), “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini berpuasa?”. Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengiringi jenazah?” Maka Abu Bakar berkata, “Saya.” Beliau kembali bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberi makan orang miskin?”. Maka Abu Bakar mengatakan, “Saya.” Lalu beliau bertanya lagi, “Siapakah di antara kalian yang hari ini sudah mengunjungi orang sakit.” Abu Bakar kembali mengatakan, “Saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Tidaklah ciri-ciri itu terkumpul pada diri seseorang melainkan dia pasti akan masuk surga.” (HR. Muslim [1027 dan 1028] dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)

Abu Bakar Al-Muzani berkomentar tentang sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Tidaklah Abu Bakar itu melampaui para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (semata-mata) karena (banyaknya) mengerjakan puasa atau sholat, akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya.” Mengomentari ucapan Al-Muzani tersebut, Ibnu ‘Aliyah mengatakan, “Sesuatu yang bersemayam di dalam hatinya adalah rasa cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan sikap nasihat terhadap (sesama) makhluk-Nya.” (Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam oleh Ibnu Rajab, hal. 102)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, akan baiklah seluruh anggota tubuh. Dan apabila ia rusak, rusaklah seluruh anggota tubuh. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599] dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma)

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa kebaikan gerak-gerik anggota badan manusia, kemauan dirinya untuk menjauhi perkara-perkara yang diharamkan, kesanggupannya meninggalkan hal-hal yang berbau syubhat (ketidakjelasan) adalah sangat tergantung pada gerak-gerik hatinya. Apabila hatinya bersih, yaitu tatkala di dalamnya tidak ada selain kecintaan kepada Allah dan kecintaan terhadap apa-apa yang dicintai Allah, rasa takut kepada Allah dan khawatir terjerumus dalam hal-hal yang dibenci-Nya, maka niscaya akan menjadi baik pula gerak-gerik seluruh anggota badannya. Dari sanalah tumbuh sikap menjauhi segala macam keharaman dan sikap menjaga diri dari perkara-perkara syubhat untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diharamkan…” (Jami’ Al-’Ulum wa Al-Hikam, hal. 93)

An-Nawawi mengatakan, “Hadits ini menunjukkan penegasan agar bersungguh-sungguh dalam upaya memperbaiki hati dan menjaganya dari kerusakan.” (Al-Minhaj, 6/108)

Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa salah satu pelajaran penting yang bisa dipetik dari hadits di atas adalah, “Poros baik dan rusaknya (amalan) adalah bersumber dari hati. Apabila hatinya baik maka seluruh tubuh juga akan baik. Dan jika ia rusak, maka seluruh anggota tubuh akan ikut rusak. Dari faidah ini muncul perkara yang lain yaitu : sudah semestinya memperhatikan masalah hati lebih daripada perhatian terhadap masalah amal anggota badan. Sebab hati adalah poros amalan. Dan hati itulah yang nanti pada hari kiamat akan menjadi objek utama ujian yang ditujukan kepada manusia. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah mereka tidak mengetahui ketika mayat yang ada di dalam kubur dibangkitkan dan dikeluarkan apa-apa yang tersembunyi di dalam dada.” (Qs. Al-’Adiyat: 9-10). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha Kuasa untuk mengembalikannya. Pada hari itu akan diuji perkara-perkara yang tersembunyi (di dalam hati).” (Qs. Ath-Thariq: 8-9). Maka sucikanlah hatimu dari kesyirikan, kebid’ahan, dengki dan perasaan benci kepada kaum muslimin, serta (bersihkanlah hatimu) dari akhlak-akhlak dan keyakinan lainnya yang bertentangan dengan syari’at, karena yang menjadi pokok segala urusan adalah hati.” (Syarh Arba’in, hal. 113)

Beliau juga mengatakan, “Apabila Allah di dalam kitab-Nya, serta Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya juga telah menegaskan agar memperbaiki niat, maka wajib bagi setiap manusia untuk memperbaiki niatnya dan memperhatikan adanya keragu-raguan yang tertanam di dalam hatinya untuk kemudian dilenyapkan olehnya menuju keyakinan. Lantas bagaimanakah caranya?”

Beliau melanjutkan, “Hal itu dapat ditempuh dengan cara memperhatikan ayat-ayat. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam sungguh-sungguh terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang menggunakan akal pikiran.” (Qs. Ali ‘Imran: 190). Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya di langit dan di bumi benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman, begitu juga dalam penciptaan diri kalian dan hewan-hewan melata yang bertebaran adalah tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Qs. Al-Jatsiyah: 4). Maka silakan anda perhatikan ayat-ayat Allah yang lain.”

“Kemudian apabila syaitan membisikkan di dalam hati anda keragu-raguan, perhatikanlah ayat-ayat Allah, perhatikan alam semesta ini siapakah yang telah mengaturnya, perhatikanlah bagaimana keadaan bisa berubah-ubah, bagaimana Allah mempergilirkan perjalanan hari di antara umat manusia sampai anda benar-benar yakin bahwa alam ini memiliki pengatur yang maha bijaksana (yaitu Allah) ‘azza wa jalla…” (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/41)

***
sumber :www.muslim.or.id dari answering.wordpress.com